SOSIAL BUDAYA

Menguatkan Ketahanan Sosial Budaya di Perbatasan

Menguatkan Ketahanan Sosial Budaya di Perbatasan
Menguatkan Ketahanan Sosial Budaya di Perbatasan

JAKARTA - Di wilayah perbatasan negara, menjaga solidaritas dan kohesi sosial masyarakat bukanlah sekadar urusan keamanan fisik, tetapi juga menyangkut ketahanan sosial budaya yang mendalam. Hal inilah yang mendorong kolaborasi antara militer dan akademisi untuk turun langsung ke daerah-daerah perbatasan, seperti yang terjadi di Desa Netemnanu Utara, Kecamatan Amfoang Timur, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur.

Pada Jumat, 11 Juli 2025, kegiatan bertajuk “Pembinaan dan Pemberdayaan Masyarakat Daerah Sebagai Beranda Terdepan NKRI Guna Menjamin Kohesi Sosial dan Solidaritas Masyarakat Adat di Perbatasan NKRI dan Timor Leste” digelar di Aula Kantor Desa Netemnanu Utara. Acara ini diinisiasi oleh Tim Akademisi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang. Turut hadir dalam kegiatan tersebut Dansubsatgaster Kodim 1604/Kupang, Kapten Inf Said Abdullah, yang juga menjabat sebagai Pgs. Danramil 1604-03/Naikliu.

Kehadiran aparat TNI dalam forum akademik semacam ini menunjukkan betapa pentingnya keterlibatan berbagai pemangku kepentingan dalam menjaga harmoni sosial di wilayah perbatasan. Wilayah yang berbatasan langsung dengan Timor Leste ini memang memiliki tantangan tersendiri, baik dari sisi keamanan, kesejahteraan, hingga pelestarian budaya lokal.

Peran Strategis Wilayah Perbatasan Sebagai Beranda NKRI

Dalam paparannya, para akademisi FISIP Undana menyampaikan bahwa masyarakat di wilayah perbatasan sering kali menjadi garis depan dalam interaksi lintas negara. Oleh karena itu, penting untuk membekali mereka tidak hanya dengan pemahaman kebangsaan, tetapi juga kemampuan untuk menjaga identitas budaya dan sosial mereka.

“Perbatasan bukan wilayah pinggiran yang diabaikan, justru mereka adalah beranda depan Republik. Masyarakatnya harus diberdayakan, bukan hanya dijaga secara teritorial, tapi juga secara sosial dan budaya,” ujar salah satu anggota tim akademisi Undana.

Kegiatan ini tidak hanya bersifat diskusi semata, tetapi juga sebagai bagian dari penelitian lapangan untuk mendalami kondisi sosial masyarakat adat yang tinggal di wilayah tapal batas tersebut. Masukan dari tokoh-tokoh masyarakat, aparat desa, serta unsur TNI menjadi bagian integral dalam proses pengumpulan data yang kelak akan dirumuskan menjadi rekomendasi kebijakan.

Peran Aktif TNI dalam Pembinaan Masyarakat Perbatasan

Dansubsatgaster Kodim 1604/Kupang, Kapten Inf Said Abdullah, dalam sambutannya menyampaikan bahwa TNI tidak hanya berfungsi menjaga keutuhan wilayah dari sisi militer, tetapi juga bertugas menjalin hubungan erat dengan masyarakat, utamanya di wilayah-wilayah perbatasan.

"Kami dari jajaran Kodim 1604/Kupang, khususnya di wilayah Naikliu dan Amfoang, berkomitmen untuk selalu hadir dan berperan aktif dalam setiap bentuk kegiatan pembinaan masyarakat. Karena ketahanan wilayah dimulai dari ketahanan masyarakatnya,” tegas Kapten Said.

Ia juga mengapresiasi kolaborasi yang terjalin dengan pihak akademisi dari Undana, karena menurutnya pendekatan ilmiah sangat dibutuhkan dalam merumuskan langkah-langkah pemberdayaan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal. Terlebih, masyarakat adat di perbatasan memiliki kearifan lokal dan nilai-nilai sosial yang unik dan harus dihormati dalam setiap bentuk intervensi pembangunan.

Penguatan Kohesi Sosial: Pilar Stabilitas Wilayah

Salah satu poin penting yang dibahas dalam kegiatan tersebut adalah pentingnya menjaga dan memperkuat kohesi sosial—yakni rasa kebersamaan, solidaritas, dan saling percaya antarkomunitas di masyarakat perbatasan. Kohesi sosial ini dinilai sebagai benteng utama dalam menangkal berbagai bentuk ancaman non-militer seperti infiltrasi budaya asing, penyelundupan, hingga disintegrasi akibat perbedaan identitas.

Masyarakat adat di kawasan Amfoang Timur dikenal memiliki struktur sosial yang kuat dan nilai-nilai kolektif yang masih terjaga. Namun, seiring dengan derasnya arus informasi dan pergeseran nilai akibat globalisasi, ketahanan sosial mereka perlu terus diperkuat melalui pendekatan edukatif, partisipatif, dan berbasis budaya.

Melalui program ini, diharapkan akan muncul strategi pemberdayaan yang tidak hanya bersifat top-down, melainkan menyerap aspirasi lokal dan menjadikan masyarakat sebagai aktor utama pembangunan.

Menjaga NKRI dari Pinggiran: Tantangan dan Harapan

Kondisi geografis dan keterbatasan aksesibilitas menjadi tantangan tersendiri di wilayah perbatasan NTT. Namun demikian, semangat untuk menjadikan kawasan ini sebagai etalase kedaulatan negara terus digelorakan melalui berbagai upaya, baik oleh pemerintah, aparat keamanan, hingga akademisi dan LSM.

Program pembinaan dan pemberdayaan seperti yang dilakukan di Desa Netemnanu Utara menjadi bagian dari strategi jangka panjang untuk membangun ketahanan nasional yang berbasis pada kekuatan sosial masyarakat. Kehadiran berbagai pihak—mulai dari tokoh adat, pemerintah desa, TNI, hingga akademisi—menjadi wujud nyata dari pendekatan kolaboratif yang ideal dalam konteks pembangunan wilayah terpencil dan strategis.

Sebagai penutup, Kapten Inf Said Abdullah menyampaikan harapannya agar kegiatan serupa terus dilanjutkan secara berkala dengan melibatkan lebih banyak desa perbatasan. "Kami berharap kegiatan ini bisa memperkuat hubungan lintas sektor dan mendorong munculnya inisiatif dari masyarakat sendiri dalam menjaga NKRI dari wilayah paling ujungnya," pungkasnya.
Melalui pendekatan sinergis antara militer, akademisi, dan masyarakat, wilayah perbatasan tidak hanya menjadi titik rawan yang diawasi, tetapi juga pusat ketahanan sosial yang diperkuat. Desa Netemnanu Utara kini menjadi contoh bahwa pembangunan perbatasan tak harus bersifat struktural semata, melainkan juga menyentuh aspek sosial dan budaya yang menjadi fondasi kokoh keutuhan bangsa.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index