BMKG

BMKG Prediksi Kemarau Basah Masih Terjadi

BMKG Prediksi Kemarau Basah Masih Terjadi
BMKG Prediksi Kemarau Basah Masih Terjadi

JAKARTA - Meski saat ini sebagian besar wilayah Indonesia secara kalender iklim telah memasuki musim kemarau, hujan ternyata masih kerap mengguyur sejumlah daerah. Fenomena inilah yang disebut sebagai “kemarau basah”, termasuk di wilayah Sumatera Barat. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Minangkabau menyatakan bahwa kondisi ini kemungkinan besar masih akan berlangsung sepanjang Juli hingga Agustus 2025.

Kepala Stasiun BMKG Minangkabau, Desindra Deddy Kurniawan, menjelaskan bahwa berdasarkan pengamatan klimatologis, fase musim kemarau di Sumbar umumnya terjadi mulai bulan Juni hingga Agustus. Namun jika curah hujan masih sering terjadi di bulan-bulan tersebut, maka fenomena ini dapat dikategorikan sebagai kemarau basah.

“Jadi harus dilihat periodenya, kalau sudah bulan Juni Juli Agustus itu kan masuk musim kemarau. Kalau misalkan masih ada hujan, artinya itu memang bisa kita sebut sebagai kemarau basah,” kata Desindra.

Dia juga menegaskan bahwa fenomena serupa pernah terjadi di Sumbar sepanjang 2024 lalu, di mana hujan tetap turun secara signifikan selama periode Mei hingga pertengahan Oktober, atau lebih dari separuh fase musim kemarau.

“BMKG Stasiun BIM Padang Pariaman mencatat sepanjang 2024 kemarau basah benar-benar terjadi hampir di seluruh wilayah Sumbar,” lanjutnya.

Tidak hanya wilayah Sumatera Barat, BMKG pusat dalam rilis terbarunya juga mengungkapkan bahwa sebagian besar wilayah Indonesia saat ini masih berada dalam kondisi kemarau basah. Artinya, meski musim kemarau telah berlangsung, intensitas hujan masih tetap terasa.

BMKG memperkirakan fenomena kemarau basah ini akan bertahan hingga Agustus 2025. Setelah itu, Indonesia akan memasuki masa transisi atau pancaroba pada periode September hingga November, lalu disusul awal musim hujan pada Desember 2025 hingga Februari 2026.

Secara nasional, sebanyak 403 Zona Musim (ZOM) atau 57,7 persen wilayah diprediksi mulai mengalami kemarau pada April hingga Juni 2025. Khusus wilayah Nusa Tenggara, awal musim kemarau diperkirakan lebih awal dibanding wilayah lainnya.

Dalam pengamatan BMKG, awal musim kemarau 2025 secara umum terpantau dalam kategori normal hingga sedikit lebih lambat dari biasanya. Hal ini tercermin dari data yang menunjukkan 409 ZOM atau 59 persen wilayah mengalami kemarau sesuai pola tersebut.

Soal curah hujan, BMKG memperkirakan kondisi relatif normal akan berlangsung di sebagian besar wilayah Indonesia selama kemarau tahun ini. Meski demikian, puncak musim kemarau diprediksi akan terjadi pada Agustus 2025 dengan tren waktu puncak yang tergolong sama atau bahkan sedikit lebih cepat dibanding periode rata-rata tahunan.

BMKG juga mencatat, meskipun sebagian wilayah mengalami puncak kemarau di Agustus, durasi keseluruhan musim kemarau diperkirakan akan lebih pendek dibanding kondisi normal. Tercatat, ada 298 ZOM atau 43 persen wilayah yang kemungkinan akan mengalami kemarau lebih singkat.

Secara khusus untuk Sumatera Barat, Kepala Stasiun BMKG Minangkabau, Desindra Deddy, menegaskan bahwa potensi kemarau basah harus dipahami sebagai fenomena musiman yang dipengaruhi banyak faktor.

“Melalui pengamatan secara intensif, kami melihat kemarau basah dapat terjadi kapan saja selama fase kemarau, tentunya jika beberapa faktor pendukungnya terpenuhi,” ujarnya.

Faktor-faktor tersebut menurutnya terbagi dalam tiga skala, yaitu faktor global, regional, dan lokal. Untuk faktor global, kondisi seperti La Nina yang masih aktif memiliki pengaruh besar terhadap peningkatan curah hujan di wilayah Indonesia, termasuk Sumbar. Selain itu, fenomena Indian Ocean Dipole (IOD) juga berperan, terutama jika dalam fase negatif.

Faktor lain yang diperhitungkan adalah pengaruh regional seperti keberadaan Madden Julian Oscillation (MJO), sebuah fenomena cuaca tropis yang berputar dan mampu meningkatkan pertumbuhan awan hujan secara signifikan.

Di sisi lokal, topografi Sumatera Barat yang didominasi pegunungan membuat hujan orografis sering terjadi meskipun fase musim kemarau berlangsung.

“Kecuali Juli Agustus itu hujannya masih masif di sebelah timur, termasuk Bukittinggi itu nah baru bisa kita sebut sebagai kemarau basah,” pungkas Desindra.

Dengan kondisi ini, masyarakat Sumatera Barat khususnya yang beraktivitas di sektor pertanian dan pariwisata diimbau untuk lebih waspada. Prediksi kemarau basah ini bisa menguntungkan petani pada sektor pertanian tertentu, namun juga menimbulkan tantangan pada sektor lain seperti pengeringan hasil panen atau risiko banjir lokal akibat hujan intensitas tinggi.

BMKG juga mengingatkan pemerintah daerah dan masyarakat umum agar terus memperbarui informasi cuaca dari saluran resmi BMKG, baik melalui media daring, aplikasi ponsel, maupun layanan radio setempat agar bisa mengantisipasi perubahan cuaca secara lebih akurat.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index