JAKARTA - Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Keuangan kembali menegaskan komitmennya dalam memperluas basis perpajakan di sektor digital. Upaya ini ditandai dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025, yang mewajibkan marketplace atau lokapasar untuk memungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 atas transaksi yang dilakukan oleh pedagang daring (online) di platform mereka.
Langkah ini tak hanya bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara, tetapi juga sebagai bagian dari penataan ekosistem ekonomi digital yang selama ini berkembang sangat cepat namun masih menyisakan tantangan dari sisi kepatuhan pajak.
Untuk memastikan implementasi berjalan efektif tanpa menimbulkan gangguan terhadap aktivitas usaha daring, pemerintah memberikan masa transisi selama dua bulan bagi para penyelenggara marketplace. Dalam rentang waktu ini, para pelaku usaha digital diberi ruang untuk menyesuaikan sistem mereka, mengedukasi pedagang, serta membangun mekanisme teknis yang dibutuhkan guna memungut dan menyetor PPh Pasal 22 sesuai aturan.
Pemerintah Siapkan Langkah Adaptif untuk Dunia Usaha Digital
Direktur Perpajakan I Direktorat Jenderal Pajak, Hestu Yoga Saksama, menegaskan bahwa pemerintah tidak ingin memberlakukan kebijakan secara mendadak yang bisa merugikan atau menghambat aktivitas ekonomi di sektor e-commerce.
“Pemerintah telah berkoordinasi dengan sejumlah pelaku lokapasar guna membahas implementasi kebijakan ini. Kami sadar bahwa diperlukan kesiapan teknis, sistem, dan sumber daya agar proses pemungutan pajak dapat dilakukan secara optimal,” ujar Hestu.
Kebijakan ini, lanjutnya, tidak serta-merta diberlakukan tanpa mempertimbangkan kondisi pelaku usaha, terutama mereka yang baru atau sedang tumbuh. Pemerintah memilih jalur pendekatan bertahap dengan tetap memberikan kepastian hukum yang diperlukan oleh seluruh pihak yang terlibat dalam ekosistem perdagangan digital.
PMK Nomor 37 Tahun 2025: Apa Saja yang Diatur?
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 37 Tahun 2025 secara garis besar mengatur tentang kewajiban para penyelenggara platform digital untuk memungut PPh Pasal 22 atas transaksi perdagangan barang yang dilakukan oleh penjual atau merchant dalam marketplace.
Selama ini, mayoritas transaksi di platform e-commerce terjadi antara penjual dan pembeli, sementara operator marketplace hanya berfungsi sebagai perantara. Dengan terbitnya PMK ini, posisi penyelenggara marketplace berubah menjadi pihak yang juga memikul tanggung jawab sebagai pemungut pajak atas transaksi barang.
Nantinya, nilai pajak yang dipungut akan dihitung berdasarkan persentase tertentu dari nilai transaksi, kemudian disetorkan ke kas negara sesuai dengan mekanisme yang akan ditetapkan lebih lanjut oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). PMK ini juga memungkinkan pengawasan pajak dilakukan secara digital, sejalan dengan sistem pelaporan yang sudah terintegrasi.
Dampak Bagi Penjual Online dan UMKM
Kehadiran aturan baru ini tidak dapat dipisahkan dari kekhawatiran sebagian pelaku UMKM dan pedagang daring yang merasa terbebani. Apalagi, sebagian besar dari mereka belum memahami sepenuhnya tata cara perpajakan, termasuk penghitungan dan pelaporan PPh 22.
Namun, Hestu Yoga menegaskan bahwa pendekatan pemerintah tetap berpihak pada pelaku usaha kecil menengah. “Bagi UMKM dengan penghasilan di bawah ambang batas tertentu, tentu ada ketentuan pengecualian. Pemerintah sangat hati-hati dalam menetapkan kebijakan agar tidak mematikan usaha kecil,” tegasnya.
Sebaliknya, pengenaan pajak bagi pedagang digital dinilai dapat menciptakan level playing field yang lebih adil antara pelaku bisnis daring dan luring. Selama ini, penjual offline cenderung lebih terpantau oleh sistem pajak konvensional, sementara sebagian besar penjual online belum seluruhnya terjangkau oleh sistem perpajakan nasional.
Industri Digital Dukung Langkah Bertahap
Pelaku industri digital menyambut baik pendekatan pemerintah yang adaptif dan tidak terburu-buru dalam implementasi kebijakan. Marketplace besar di Indonesia seperti Tokopedia, Shopee, Bukalapak, dan Lazada disebut telah menjalin komunikasi aktif dengan DJP untuk membahas kesiapan teknis serta kebutuhan edukasi bagi mitra penjual.
Beberapa penyelenggara marketplace bahkan sudah mempersiapkan sistem otomatisasi untuk pemungutan pajak, sehingga prosesnya bisa berjalan tanpa memberatkan pengguna platform.
“Kami mendukung upaya pemerintah untuk memperluas basis pajak. Namun, penting bagi seluruh pihak untuk memastikan pemahaman yang sama dan kesiapan teknologi agar implementasinya tidak menimbulkan kegaduhan,” ujar seorang perwakilan dari salah satu marketplace besar.
Sosialisasi dan Kolaborasi: Kunci Implementasi yang Sukses
Dalam rangka mendukung pelaksanaan PMK Nomor 37 Tahun 2025, pemerintah bersama pelaku industri berkomitmen mengadakan sosialisasi secara masif kepada para penjual online. Edukasi mengenai manfaat pajak, tata cara pelaporan, dan hak-hak pelaku usaha menjadi bagian penting dalam proses ini.
Selain itu, pemerintah juga membuka saluran komunikasi terbuka bagi pelaku usaha yang ingin berkonsultasi seputar regulasi baru ini. Dukungan dari asosiasi e-commerce Indonesia (idEA) serta forum-forum UMKM digital menjadi garda terdepan dalam menyampaikan informasi kepada basis pedagang yang sangat luas dan tersebar di seluruh pelosok tanah air.
Menuju Ekonomi Digital yang Lebih Transparan dan Berkeadilan
Langkah pemerintah untuk melibatkan marketplace sebagai pemungut PPh 22 dinilai sebagai strategi penting menuju sistem perpajakan yang lebih modern dan responsif terhadap perubahan zaman. Transformasi digital yang kini melanda hampir seluruh sektor, termasuk perdagangan, harus diimbangi dengan penyesuaian pada instrumen fiskal negara.
Dengan diberikannya masa transisi dua bulan, diharapkan semua pihak dapat menjalankan peran dan tanggung jawabnya secara optimal. Di satu sisi, negara dapat meningkatkan penerimaan tanpa menekan pelaku usaha secara berlebihan. Di sisi lain, kehadiran peraturan ini menjadi momen penting untuk mendorong transformasi ekosistem digital yang lebih tertib, adil, dan berkelanjutan.