JAKARTA - Meningkatnya jumlah penderita hepatitis di Provinsi Aceh dalam beberapa waktu terakhir membuka mata banyak pihak tentang pentingnya kesiapan sistem kesehatan daerah dalam menghadapi ancaman penyakit menular. Khususnya hepatitis B dan C yang kini dilaporkan mengalami tren kenaikan, kondisi ini menimbulkan kekhawatiran akan potensi penyebaran yang lebih luas dan membahayakan kualitas kesehatan masyarakat secara menyeluruh.
Masyarakat, pemerintah, hingga tenaga kesehatan pun dihadapkan pada tantangan baru yang menuntut strategi komprehensif: bukan hanya dari sisi pengobatan, tetapi juga pencegahan, deteksi dini, edukasi publik, hingga sinergi lintas sektor.
Hepatitis: Ancaman Nyata di Tengah Ketidakwaspadaan Publik
Hepatitis bukanlah isu baru dalam dunia kesehatan. Namun, di tengah berbagai agenda pembangunan dan pemulihan pascapandemi, perhatian terhadap penyakit ini cenderung meredup. Ironisnya, justru dalam situasi itulah angka kasus meningkat—terutama di daerah-daerah seperti Aceh yang memiliki karakteristik geografis dan akses layanan kesehatan yang beragam.
Dari data yang dihimpun oleh Dinas Kesehatan Provinsi Aceh, ditemukan bahwa kasus hepatitis, terutama jenis B dan C, mengalami peningkatan signifikan dalam dua tahun terakhir. Lonjakan ini tidak hanya terjadi di wilayah perkotaan, tetapi juga merambah ke daerah-daerah pedalaman yang sebelumnya memiliki angka pelaporan rendah. Hal ini menjadi indikasi bahwa penyebaran hepatitis mungkin telah jauh lebih luas dibandingkan yang tercatat secara resmi.
"Hepatitis kini menjadi ancaman serius di Aceh. Kalau tidak ditangani dengan cepat dan tepat, dikhawatirkan akan menjadi masalah kesehatan masyarakat yang sulit dikendalikan," ungkap seorang pejabat Dinkes Aceh yang enggan disebut namanya, menggambarkan situasi mendesak yang tengah dihadapi.
Minimnya Kesadaran, Tantangan Terbesar
Salah satu faktor utama yang memperburuk situasi ini adalah masih rendahnya kesadaran masyarakat terhadap bahaya hepatitis. Banyak warga yang belum memahami bagaimana virus ini menyebar, gejalanya, hingga pentingnya skrining atau pemeriksaan rutin. Hepatitis B dan C, misalnya, kerap dijuluki sebagai "silent killer" karena bisa menginfeksi tubuh selama bertahun-tahun tanpa menunjukkan gejala signifikan, hingga akhirnya berkembang menjadi sirosis atau kanker hati.
Kurangnya edukasi masyarakat, ditambah stigma terhadap penderita penyakit menular, membuat banyak kasus tidak terdeteksi sejak awal. Hal ini diperparah dengan keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan di beberapa kabupaten/kota di Aceh, terutama yang berada di kawasan terpencil.
Menurut data WHO, hepatitis B dan C secara global menyumbang sekitar 1,1 juta kematian setiap tahun. Jika dibiarkan, maka Aceh berisiko menjadi salah satu titik merah penyebaran hepatitis di Indonesia.
Pemerintah Diminta Tingkatkan Upaya Pencegahan
Lonjakan kasus ini menimbulkan dorongan dari berbagai pihak agar Pemerintah Provinsi Aceh, termasuk Dinas Kesehatan dan instansi terkait lainnya, segera melakukan intervensi serius. Program-program seperti vaksinasi hepatitis B, kampanye penyuluhan bahaya hepatitis, serta layanan deteksi dini harus digencarkan hingga menjangkau pelosok desa.
Vaksin hepatitis B sendiri sebenarnya telah menjadi bagian dari program imunisasi dasar di Indonesia. Namun, cakupan dan kesetaraan aksesnya masih menjadi tantangan, terutama di wilayah dengan infrastruktur terbatas. Di sisi lain, belum tersedia vaksin untuk hepatitis C, sehingga penanganannya bergantung pada diagnosis dini dan pengobatan antiretroviral.
“Pemerintah perlu memperkuat program vaksinasi, terutama di daerah yang masih rawan. Jangan sampai masyarakat tahu mereka terkena hepatitis ketika sudah parah,” ujar dr. Syarifuddin, seorang dokter umum di salah satu puskesmas di Kabupaten Aceh Besar.
Ia menambahkan bahwa pelatihan tenaga medis dalam penanganan hepatitis juga harus menjadi perhatian, mengingat belum semua fasilitas kesehatan di tingkat pertama memiliki sumber daya yang cukup.
Peran Masyarakat dan Lembaga Sosial
Sementara pemerintah menjalankan fungsi regulasi dan pelaksanaan program, keterlibatan masyarakat sipil dan lembaga sosial dalam memberikan penyuluhan kesehatan juga sangat penting. Pendekatan komunitas—termasuk melalui tokoh adat, ulama, dan organisasi lokal—dapat mempercepat penyebaran informasi tentang bahaya hepatitis dan cara mencegahnya.
Banyak kasus hepatitis yang disebabkan oleh praktik medis yang tidak steril, penggunaan jarum suntik secara bergantian, transfusi darah yang tidak aman, serta hubungan seksual berisiko. Oleh karena itu, edukasi tentang gaya hidup sehat dan aman harus menjadi bagian dari strategi preventif.
“Kalau hanya mengandalkan fasilitas kesehatan formal, tidak akan cukup. Kita butuh partisipasi semua pihak, termasuk masyarakat desa dan tokoh agama, untuk membantu mengedukasi warganya,” kata Nuraini, relawan kesehatan dari sebuah LSM yang aktif di wilayah Pidie.
Menatap Masa Depan: Perlu Sistem Data dan Pemantauan Terpadu
Kenaikan jumlah penderita hepatitis di Aceh juga menunjukkan kelemahan sistem pencatatan dan pelaporan kasus. Tanpa data yang akurat dan real-time, strategi penanggulangan menjadi tidak tepat sasaran. Oleh karena itu, integrasi sistem informasi kesehatan, pelaporan dari fasilitas layanan primer hingga rumah sakit, serta peningkatan kapasitas laboratorium diagnostik harus menjadi bagian dari prioritas pemerintah daerah.
Di sisi lain, evaluasi rutin terhadap kebijakan dan program penanggulangan hepatitis juga mutlak diperlukan. Misalnya, apakah vaksinasi hepatitis B di rumah sakit telah menjangkau bayi baru lahir secara menyeluruh? Apakah pemeriksaan darah donor di PMI telah sesuai standar? Apakah skrining untuk ibu hamil sudah dilakukan secara merata?
Kesimpulan
Hepatitis tidak bisa lagi dianggap sebagai penyakit biasa. Di Aceh, lonjakan kasus yang terjadi saat ini menjadi sinyal bahwa sistem deteksi dan pencegahan masih belum cukup kuat. Pemerintah, tenaga kesehatan, masyarakat sipil, dan setiap individu perlu berperan aktif dalam memutus rantai penyebaran penyakit ini. Tanpa kesadaran dan kolaborasi lintas sektor, dikhawatirkan hepatitis akan terus menjalar diam-diam dan menyisakan dampak yang sangat mahal—baik dari sisi kesehatan maupun ekonomi.
Kini saatnya menjadikan peringatan ini sebagai momentum untuk memperkuat sistem kesehatan daerah dan memperluas jangkauan program pencegahan, demi menciptakan Aceh yang lebih sehat dan bebas dari ancaman hepatitis.