PERUSAHAAN TAMBANG

Perusahaan Tambang Nikel Sebut Revisi Berlaku RKAB Bisa Hambat Investasi

Perusahaan Tambang Nikel Sebut Revisi Berlaku RKAB Bisa Hambat Investasi
Perusahaan Tambang Nikel Sebut Revisi Berlaku RKAB Bisa Hambat Investasi

JAKARTA - Perubahan regulasi dalam sektor pertambangan kembali menuai perhatian luas. Kali ini, wacana pemerintah untuk memangkas masa berlaku Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) dari tiga tahun menjadi satu tahun tengah menjadi sorotan tajam, terutama dari pelaku industri nikel nasional.

Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), yang menjadi representasi utama pengusaha nikel di Tanah Air, secara terbuka menyampaikan keberatan terhadap rencana tersebut. Mereka menilai langkah pemerintah ini justru berpotensi menghambat iklim investasi dan menimbulkan beban administratif baru, bukan hanya bagi pelaku usaha tambang, tetapi juga bagi pemerintah sendiri.

Langkah yang dimaksud merupakan bagian dari penyesuaian terhadap regulasi teknis pertambangan yang tengah disusun oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Pemerintah beralasan bahwa revisi ini bertujuan memperkuat pengawasan serta memperbaiki tata kelola usaha pertambangan, namun pelaku industri memandangnya dari kacamata yang berbeda.

Kekhawatiran Dunia Usaha: Ketidakpastian dan Beban Tambahan

Dalam pernyataan resminya, APNI menilai pengurangan masa berlaku RKAB menjadi satu tahun akan berdampak langsung terhadap perencanaan usaha jangka panjang di sektor pertambangan. Mereka menekankan bahwa kegiatan eksplorasi, produksi, serta pembangunan infrastruktur penunjang tambang tidak bisa dilakukan secara optimal bila pelaku usaha harus memperbarui RKAB setiap tahun.

“Kebijakan ini akan menciptakan ketidakpastian dalam perencanaan dan implementasi proyek. Investasi jangka panjang di sektor pertambangan membutuhkan kepastian administratif yang berkelanjutan, bukan justru direpotkan oleh proses pengajuan RKAB setiap tahun,” ujar perwakilan APNI.

Selain itu, perubahan tersebut juga dinilai berpotensi menambah beban kerja di lingkungan birokrasi. Setiap permohonan RKAB membutuhkan proses evaluasi teknis yang cukup panjang, sehingga bila semua pelaku usaha wajib memperbarui setiap tahun, hal ini berisiko menimbulkan penumpukan administrasi di instansi pemerintah.

Realita di Lapangan: Tantangan Implementasi

Dari sisi teknis, penyusunan RKAB tidak hanya melibatkan angka dan rencana kerja semata. Dokumen ini mencakup perincian kegiatan eksplorasi, target produksi, pemetaan wilayah tambang, hingga anggaran biaya yang akan dikeluarkan. Setiap detail harus disetujui oleh pemerintah sebelum pelaku usaha bisa menjalankan kegiatan operasionalnya.

Dalam praktiknya, pelaku industri mengungkap bahwa proses persetujuan RKAB tiga tahunan saja kerap mengalami keterlambatan. Maka jika jangka waktu dikurangi menjadi tahunan, kekhawatiran akan munculnya penundaan dalam aktivitas tambang menjadi sangat beralasan.

“Bayangkan jika semua perusahaan tambang harus menyusun dan menyerahkan RKAB setiap tahun. Apakah pemerintah siap dari sisi sumber daya manusia dan sistem untuk mengevaluasi semuanya secara cepat dan akurat?” tambah perwakilan APNI.

Kondisi ini diperparah dengan fakta bahwa sektor pertambangan, terutama nikel, menjadi salah satu tumpuan utama pemerintah dalam mendorong hilirisasi industri dan peningkatan ekspor bernilai tambah. Ketidakpastian administratif berpotensi menghambat tujuan besar tersebut.

Konteks Kebijakan: Upaya Penguatan Pengawasan?

Di sisi lain, Kementerian ESDM memberikan sinyal bahwa kebijakan pengubahan masa berlaku RKAB merupakan bagian dari upaya pembenahan tata kelola industri tambang secara nasional. Pemerintah ingin memastikan bahwa seluruh kegiatan pertambangan dilakukan sesuai dengan ketentuan teknis dan lingkungan yang berlaku.

Dengan meninjau ulang RKAB setiap tahun, pemerintah beranggapan bisa melakukan kontrol yang lebih ketat terhadap pelaksanaan kegiatan tambang, sekaligus mencegah penyalahgunaan izin oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Namun, kalangan industri menilai bahwa penguatan pengawasan tidak harus dilakukan dengan mengorbankan efisiensi administrasi. Menurut APNI, pemerintah sebaiknya memperkuat sistem pengawasan berbasis digital dan meningkatkan kapasitas sumber daya manusia di instansi terkait, ketimbang memperbanyak proses perizinan yang dapat memperlambat kegiatan usaha.

Dampak ke Hilirisasi dan Daya Saing

Dalam konteks lebih luas, kebijakan ini berisiko berdampak pada percepatan hilirisasi industri nikel yang tengah digalakkan. Sejumlah pelaku usaha, baik skala besar maupun menengah, saat ini tengah mengembangkan pabrik pemurnian (smelter) dan fasilitas turunan lainnya. Proyek-proyek tersebut membutuhkan perencanaan matang dan kesinambungan aktivitas penambangan sebagai penyuplai bahan baku utama.

Jika kebijakan baru membuat proses administratif menjadi lambat dan tidak efisien, maka daya tarik Indonesia sebagai destinasi investasi nikel berpotensi menurun. Negara pesaing seperti Filipina dan Australia dapat menjadi alternatif bagi investor yang menginginkan proses perizinan yang lebih stabil dan ramah bisnis.

“Kami tidak menolak pengawasan. Tapi harus ada keseimbangan antara regulasi yang tegas dan iklim usaha yang kondusif. Jangan sampai niat baik pemerintah justru melemahkan daya saing industri nasional,” ujar salah satu anggota APNI.

Seruan untuk Evaluasi Bersama

APNI berharap bahwa sebelum regulasi baru ini diterapkan secara menyeluruh, perlu dilakukan dialog terbuka antara pemerintah dan pelaku industri. Evaluasi dampak, kajian administratif, serta simulasi implementasi perlu dilakukan secara cermat agar kebijakan yang dihasilkan benar-benar mampu memperbaiki tata kelola industri, bukan sebaliknya.

“Kami siap mendukung pengawasan dan tata kelola yang baik. Tapi mari duduk bersama, cari solusi terbaik agar kebijakan ini tidak menghambat industri dan menciptakan ketidakpastian bagi investor,” tutup pernyataan APNI.

Polemik seputar perubahan masa berlaku RKAB ini menunjukkan tantangan klasik dalam dunia regulasi: bagaimana menjaga keseimbangan antara pengawasan pemerintah dan kebutuhan efisiensi industri. Satu sisi ingin memastikan eksploitasi sumber daya berjalan dengan tata kelola yang baik, namun di sisi lain dunia usaha membutuhkan stabilitas untuk bisa tumbuh dan berinvestasi secara optimal.

Ke depan, keberhasilan sektor nikel Indonesia tidak hanya ditentukan oleh besarnya cadangan sumber daya alam, tapi juga oleh sejauh mana regulasi dibuat secara cerdas, kolaboratif, dan mengutamakan keberlanjutan jangka panjang.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index