GADGET

Saat Gadget Mendominasi, Pelukan Tetap Dibutuhkan Anak

Saat Gadget Mendominasi, Pelukan Tetap Dibutuhkan Anak
Saat Gadget Mendominasi, Pelukan Tetap Dibutuhkan Anak

JAKARTA - Ketika teknologi menawarkan kemudahan luar biasa dan dunia digital menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan anak-anak, kebutuhan emosional mereka justru sering kali luput dari perhatian. Anak-anak masa kini memang semakin mahir dalam menjelajahi dunia maya dan mengakses informasi dalam hitungan detik, namun di sisi lain, mereka juga rentan mengalami kekosongan emosi yang sulit ditambal dengan gadget canggih atau fasilitas mewah.

Dewi Sartika, S.Psi, seorang Guru Bimbingan Konseling di SMP 17 Agustus 1945 (SMPTAG) Surabaya, menggambarkan fenomena ini sebagai tantangan nyata dalam proses pendampingan tumbuh kembang anak. Menurutnya, meskipun generasi sekarang sangat adaptif terhadap perkembangan digital, mereka justru menunjukkan penurunan dalam empati dan kemampuan komunikasi mendalam.

“Mereka lebih responsif terhadap komunikasi langsung dibanding membaca informasi tertulis. Kebiasaan literasi bergeser ke arah instan dan visual,” ujar Dewi, menyoroti pergeseran pola interaksi yang dialami para siswa di sekolahnya.

Sebagai guru BK, Dewi menekankan bahwa perannya bukan hanya membantu menyelesaikan permasalahan siswa. Lebih dari itu, ia bertugas membangun kepercayaan sebagai fondasi penting dalam pembentukan karakter. Anak-anak, menurutnya, hanya akan terbuka apabila mereka merasa aman secara emosional.

“Trust itu fondasi. Kalau anak sudah percaya, baru arahan dan nilai-nilai bisa masuk,” tegas Dewi, menggarisbawahi pentingnya membangun kedekatan emosional antara anak dan pihak-pihak dewasa di sekitarnya.

Namun, ia juga menekankan bahwa pendidikan karakter tidak bisa dibebankan hanya kepada sekolah. Kolaborasi antara keluarga, sekolah, dan lingkungan sosial menjadi kunci utama agar potensi anak bisa berkembang maksimal. Tiga pilar tersebut harus hadir secara harmonis untuk menopang perjalanan tumbuh kembang seorang anak.

Dalam banyak kasus yang ditemui Dewi, anak-anak sering kali datang dengan masalah yang sebenarnya berakar dari kurangnya perhatian di rumah. Di balik segala kemudahan yang diberikan oleh orang tua mulai dari ponsel pintar, komputer, hingga fasilitas belajar anak-anak tetap merasakan kesepian.

“Mereka tidak butuh hadiah mewah. Mereka butuh dipeluk, diajak bicara dari hati ke hati, dan didengar,” ungkapnya. Sentuhan emosional sederhana seperti pelukan hangat, sapaan penuh perhatian, dan keterlibatan orang tua secara langsung dalam keseharian anak jauh lebih bermakna dibandingkan materi.

Di lingkungan sekolah, Dewi bersama rekan-rekannya di SMPTAG Surabaya terus menanamkan nilai-nilai sosial yang mengedepankan empati dan solidaritas. Ia menjadikan ruang kelas sebagai "rumah kedua" bagi para siswa, tempat di mana mereka merasa aman untuk berbagi, belajar dari kesalahan, dan tumbuh bersama dalam rasa saling peduli.

“Kelas bukan hanya ruang belajar, tapi rumah kedua. Siswa diajarkan untuk saling peduli, saling menguatkan, dan tidak takut mengakui kesalahan,” tuturnya. Filosofi ini ia yakini akan menjadi bekal penting dalam menyongsong masa depan bangsa, terutama dalam membentuk generasi yang berdaya saing tinggi, namun tetap menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.

Menurut Dewi, terlalu banyak orang dewasa yang terjebak pada indikator keberhasilan yang sempit. Prestasi akademik memang penting, namun itu bukan satu-satunya ukuran anak hebat. Ia mengingatkan bahwa sikap, semangat belajar, dan karakter adalah bentuk keistimewaan lain yang justru sering kali terabaikan.

“Banyak anak memiliki keistimewaan dalam hal sikap, semangat, dan karakter. Hanya saja, banyak orang dewasa terlalu fokus pada hasil akhir dan lupa untuk melihat proses tumbuh anak,” jelas Dewi.

Momentum Hari Anak Nasional seharusnya menjadi ajang refleksi, bukan hanya seremoni yang datang dan pergi setiap tahun. Dewi berharap, peringatan ini dijadikan panggilan untuk semua pihak baik orang tua, guru, maupun masyarakat luas untuk benar-benar hadir dalam kehidupan anak-anak. Menurutnya, kehadiran tidak cukup hanya secara fisik, tapi juga secara emosional dan spiritual.

“Kalau kita mau melahirkan generasi hebat, maka kita harus hadir dengan kasih, pelukan, dan kepercayaan,” pungkasnya.

Pesan ini menjadi pengingat kuat bahwa dalam dunia yang makin canggih sekalipun, nilai-nilai kasih sayang dan perhatian tetap menjadi kebutuhan mendasar setiap anak. Sebab teknologi, betapapun hebatnya, tidak akan mampu menggantikan hangatnya pelukan dan kedalaman komunikasi antarmanusia. Maka, mendampingi anak bukan hanya soal menyediakan sarana, tetapi juga memastikan mereka tumbuh dalam rasa aman, cinta, dan penghargaan.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index