JAKARTA - PT Bank Syariah Indonesia Tbk. (BSI) terus menunjukkan komitmennya dalam mendorong agenda pembangunan berkelanjutan melalui penyaluran pembiayaan hijau. Hingga kuartal pertama 2025, perseroan telah menyalurkan pembiayaan hijau sebesar Rp14,6 triliun. Pendanaan ini dialokasikan untuk mendukung proyek-proyek strategis seperti pengembangan energi terbarukan, sistem transportasi rendah emisi, pengelolaan air dan limbah berkelanjutan, serta produk ramah lingkungan.
Langkah strategis ini mencerminkan bagaimana perbankan syariah dapat memainkan peran penting dalam mendukung target pembangunan berkelanjutan sekaligus memperkuat nilai-nilai maqashid syariah. Dalam forum terbatas yang dihadiri oleh perwakilan dari United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), BSI turut memaparkan kontribusinya dalam sektor keuangan hijau nasional.
Bob T. Ananta, Wakil Direktur Utama BSI, mengungkapkan bahwa pendekatan syariah yang diusung perseroan secara alamiah sejalan dengan prinsip-prinsip environmental, social and governance (ESG). Menurutnya, penerapan ESG oleh BSI tidak semata-mata berlandaskan pada kepatuhan terhadap regulasi, melainkan merupakan bagian dari tanggung jawab moral dan spiritual untuk menciptakan kesejahteraan umat dan menjaga kelestarian alam.
"BSI melihat ESG sebagai bagian dari maqashid syariah. Ini bukan hanya soal regulasi, tetapi bagaimana kita memprioritaskan keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat dalam setiap langkah bisnis," ujar Bob dalam sesi diskusi dengan UN Climate Change.
Tidak hanya fokus pada pembiayaan hijau, portofolio pembiayaan berkelanjutan BSI secara keseluruhan telah menembus angka Rp72,6 triliun hingga akhir kuartal I/2025. Ini termasuk proyek-proyek dengan dampak sosial yang signifikan, yang sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs). Selain itu, BSI juga telah menerbitkan sukuk berkelanjutan (sustainability sukuk) senilai total Rp8 triliun sejak 2024, yang terdiri dari dua tahap penerbitan. Sukuk ini menjadi salah satu instrumen keuangan strategis untuk mendukung pembiayaan proyek berwawasan lingkungan dan sosial di Indonesia.
Di sisi lain, BSI juga mengangkat pentingnya bonus demografi sebagai peluang emas bagi Indonesia untuk memperkuat basis ekonomi hijau. Bob menekankan bahwa transisi menuju ekonomi rendah karbon tidak hanya soal memperbaiki kualitas lingkungan, tetapi juga berkaitan erat dengan penciptaan lapangan kerja berkualitas dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia.
"Indonesia butuh lebih banyak investasi yang mampu menciptakan lapangan kerja berkualitas dan mendukung pembangunan berkelanjutan. Green investment mampu menjawab tantangan ganda, yakni mendanai infrastruktur transisi energi dan menyiapkan SDM unggul yang siap mengisi peluang kerja masa depan," ungkapnya dalam siaran pers resmi BSI.
Pernyataan ini menggarisbawahi bahwa pembiayaan hijau bukan sekadar tren global, tetapi kebutuhan nyata dalam menjawab tantangan pembangunan nasional. Dalam konteks ini, sektor keuangan diharapkan dapat menjadi katalis untuk mempercepat proses transisi energi dan pembangunan infrastruktur berkelanjutan.
Namun, BSI juga mencatat sejumlah tantangan dalam implementasi agenda keuangan berkelanjutan. Salah satu hambatan utama adalah terbatasnya kapasitas institusi dalam mengelola risiko iklim secara komprehensif. Tanpa pemahaman yang kuat tentang risiko iklim, lembaga keuangan akan kesulitan menangkap peluang pembiayaan hijau secara maksimal.
Tantangan berikutnya adalah kebutuhan akan harmonisasi regulasi dan standar internasional dengan konteks lokal Indonesia. Regulasi global yang berkembang pesat sering kali belum sepenuhnya cocok diterapkan di Indonesia tanpa penyesuaian yang tepat. Oleh karena itu, diperlukan upaya adaptasi agar prinsip-prinsip keuangan berkelanjutan tetap relevan dan bisa diintegrasikan ke dalam praktik bisnis bank secara realistis.
Tak hanya itu, persoalan ketiadaan insentif fiskal yang memadai juga menjadi sorotan. Menurut BSI, lembaga keuangan masih menghadapi hambatan dalam bentuk beban fiskal yang tinggi saat mengalokasikan pembiayaan untuk proyek hijau. Padahal, insentif fiskal dapat menjadi pendorong penting bagi pertumbuhan investasi hijau yang lebih agresif.
Meski demikian, BSI tidak melihat tantangan-tantangan tersebut sebagai penghalang, melainkan sebagai peluang strategis untuk memperkuat sinergi lintas sektor. Kolaborasi dengan regulator, pemerintah, dan lembaga internasional diyakini menjadi kunci dalam menciptakan ekosistem keuangan berkelanjutan yang lebih kokoh dan adaptif.
Dengan rekam jejak dan komitmen yang terus diperkuat, BSI berada di jalur yang tepat untuk menjadi pionir dalam implementasi prinsip keuangan hijau berbasis syariah di Indonesia. Tidak hanya membiayai proyek ramah lingkungan, tetapi juga menghadirkan dampak sosial yang luas serta mendorong transformasi ekonomi ke arah yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Langkah-langkah strategis yang telah ditempuh BSI ini menandakan semakin terintegrasinya nilai-nilai keberlanjutan dalam arsitektur keuangan nasional. Dengan terus membangun komitmen dan kapasitas, sektor perbankan syariah Indonesia diharapkan bisa menjadi kekuatan utama dalam mewujudkan ekonomi hijau yang adil, tangguh, dan berkelanjutan bagi generasi masa depan.