JAKARTA - Ketegangan geopolitik yang terus berkembang, disertai proyeksi pasar yang lebih ketat dari yang diperkirakan, menjadi pemicu utama lonjakan harga minyak dunia pada perdagangan, Sabtu, 13 Juli 2025. Dalam tren mingguan yang positif, harga minyak mencatat kenaikan signifikan, dengan minyak mentah Brent dan West Texas Intermediate (WTI) kompak melonjak lebih dari 2 persen.
Kenaikan harga ini terjadi di tengah kekhawatiran pasar akan ketatnya pasokan jangka pendek, sementara pada saat bersamaan investor menaruh perhatian pada perkembangan kebijakan tarif Amerika Serikat serta sanksi baru terhadap Rusia yang sedang dibahas di level global.
Kinerja Harga: Brent dan WTI Menguat Kompak
- Baca Juga Target Produksi Batu Bara 2025
Harga minyak mentah Brent untuk kontrak berjangka ditutup naik USD1,72 atau 2,5 persen ke posisi USD70,36 per barel. Sementara itu, WTI patokan harga minyak mentah AS menguat lebih tinggi, naik USD1,88 atau 2,8 persen ke level USD68,45 per barel.
Secara keseluruhan, Brent membukukan kenaikan mingguan sebesar 3 persen, sedangkan WTI menguat sekitar 2,2 persen selama sepekan terakhir.
Ketatnya Pasar Menjadi Isyarat Baru
Di balik lonjakan harga ini, laporan dari Badan Energi Internasional (IEA) menjadi perhatian pelaku pasar. Lembaga tersebut mengungkapkan bahwa pasar minyak global bisa jadi lebih ketat dari apa yang terlihat di permukaan, terutama karena peningkatan permintaan musiman akibat beroperasinya kilang minyak pada kapasitas penuh selama musim panas.
IEA juga mencatat bahwa konsumsi energi meningkat akibat kebutuhan perjalanan dan permintaan listrik yang tinggi, terutama di belahan bumi utara yang sedang memasuki puncak musim panas.
Analis senior dari Price Futures Group, Phil Flynn, menyatakan bahwa pelaku pasar mulai menyadari ketatnya situasi pasokan saat ini.
“Pasar mulai menyadari bahwa pasokan sedang ketat,” ujarnya menanggapi dinamika yang terjadi.
Premi harga untuk kontrak Brent bulan September juga menjadi sinyal penting. Kontrak ini diperdagangkan dengan premi sekitar USD1,20 dibandingkan kontrak bulan Oktober indikasi klasik dari pasar yang sedang mengalami tekanan pasokan atau kondisi backwardation.
Kombinasi Ketat Jangka Pendek dan Proyeksi Surplus Jangka Panjang
Menariknya, meskipun laporan IEA menyiratkan pasar sedang ketat, lembaga yang sama juga menaikkan proyeksi pertumbuhan pasokan minyak global tahun ini. Di sisi lain, proyeksi pertumbuhan permintaan justru dipangkas, yang secara garis besar bisa mengindikasikan potensi surplus di pasar minyak dalam beberapa bulan ke depan.
“OPEC+ akan meningkatkan pasokan minyak secara cepat dan signifikan. Ada ancaman kelebihan pasokan yang signifikan. Namun, dalam jangka pendek, harga minyak tetap terdukung,” kata analis dari Commerzbank.
Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya, termasuk Rusia (dikenal sebagai OPEC+), tampaknya masih memiliki pengaruh kuat dalam dinamika penawaran minyak global.
Wakil Perdana Menteri Rusia, Alexander Novak, menegaskan bahwa Rusia akan mengkompensasi kelebihan produksi melebihi kuota OPEC+ pada periode Agustus–September, yang dapat menopang sentimen positif jangka pendek di pasar.
Permintaan dari Tiongkok Tetap Menjadi Faktor Penentu
Salah satu indikator kuat dari solidnya permintaan minyak mentah global datang dari Tiongkok, yang diperkirakan akan menerima pengiriman sekitar 51 juta barel minyak dari Arab Saudi pada bulan Agustus. Ini akan menjadi volume impor terbesar dalam lebih dari dua tahun terakhir, menggarisbawahi pentingnya pasar Tiongkok bagi industri energi global.
Meski demikian, OPEC justru memangkas proyeksi pertumbuhan permintaan minyak global untuk periode 2026–2029. Perlambatan permintaan dari Tiongkok menjadi alasan utama revisi ini, sebagaimana termuat dalam Prospek Minyak Dunia 2025 yang dirilis baru-baru ini.
Sementara itu, Kementerian Energi Arab Saudi pada Jumat lalu menyatakan bahwa kerajaan tersebut sepenuhnya mematuhi target produksi sukarela OPEC+, memperkuat komitmen terhadap stabilitas pasar.
Pengaruh Tarif AS dan Potensi Sanksi Tambahan
Gejolak pasar minyak tak lepas dari ketidakpastian geopolitik, terutama terkait kebijakan Presiden AS Donald Trump. Pada hari Kamis, 10 Juli, Trump menyampaikan bahwa dirinya akan mengumumkan “pernyataan besar” mengenai Rusia pada hari Senin mendatang, tanpa memberikan detail lebih lanjut.
Komentar tersebut muncul di tengah meningkatnya ketegangan antara Amerika Serikat dan Rusia terkait konflik Ukraina. Trump sendiri mengaku frustrasi terhadap Presiden Rusia Vladimir Putin karena lambatnya upaya penyelesaian perang dan meningkatnya pemboman terhadap kota-kota Ukraina.
Pernyataan itu memicu spekulasi pasar mengenai potensi sanksi tambahan terhadap Rusia, yang kemungkinan besar akan berdampak pada ekspor minyaknya ke pasar internasional.
Tak hanya itu, Komisi Eropa juga dikabarkan akan mengusulkan batas harga minyak Rusia berbasis harga pasar global (floating cap) dalam pekan ini, sebagai bagian dari rancangan paket sanksi terbaru terhadap Rusia. Namun, Rusia menyatakan tetap siap menghadapi tekanan baru tersebut.
“Kami punya pengalaman yang baik dalam menangani tantangan seperti ini,” ujar pernyataan resmi dari pemerintah Rusia.
Pasar Minyak Masih dalam Titik Kritis
Dengan tekanan geopolitik yang belum mereda, ditambah dinamika pasokan dan permintaan yang terus berubah, pasar minyak dunia masih berada dalam fase kritis. Kenaikan harga saat ini mencerminkan kombinasi antara ketatnya pasokan jangka pendek dan potensi risiko jangka panjang, baik dari sisi geopolitik maupun kebijakan produksi global.
Selama ketidakpastian tetap membayangi, pelaku pasar dan investor energi dipastikan akan terus mencermati perkembangan terbaru dari OPEC+, Amerika Serikat, Rusia, dan Tiongkok—empat aktor utama yang akan menentukan arah harga minyak global ke depan.