JAKARTA - Kegiatan pertambangan nikel di Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat Daya, telah menjadi sorotan publik dalam beberapa waktu terakhir. Terlebih lagi, isu ini semakin memanas ketika muncul dugaan adanya keterlibatan aktor politik dalam pemberian izin tambang tersebut.
Izin Tambang yang Kontroversial
Pemerintah Indonesia melalui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, telah mencabut izin usaha pertambangan (IUP) untuk empat perusahaan tambang nikel di Raja Ampat. Keempat perusahaan tersebut adalah PT Nurham, PT Kawei Sejahtera Mining, PT Anugerah Surya Pratama, dan PT Mulia Raymond Perkasa. Keputusan ini diambil setelah ditemukan pelanggaran lingkungan yang signifikan, termasuk deforestasi dan sedimentasi yang merusak ekosistem laut .
Namun, izin PT Gag Nikel, anak perusahaan dari PT Aneka Tambang (Antam), tetap dipertahankan karena lokasi operasionalnya berada di luar kawasan Geopark Raja Ampat. Meskipun demikian, aktivitas PT Gag Nikel sempat dihentikan sementara setelah protes dari masyarakat dan aktivis lingkungan .
Dampak Lingkungan yang Mengerikan
Raja Ampat dikenal sebagai salah satu destinasi wisata bahari terbaik di dunia, dengan keanekaragaman hayati laut yang luar biasa. Namun, aktivitas pertambangan nikel mengancam kelestarian ekosistem ini. Deforestasi yang terjadi akibat pembukaan lahan tambang menyebabkan sedimentasi tinggi yang terbawa aliran sungai ke laut, menutupi terumbu karang dan merusak habitat biota laut .
Selain itu, limbah tambang yang dibuang ke laut berpotensi mencemari kualitas air dan merusak ekosistem mangrove, yang berperan penting dalam mitigasi perubahan iklim. Kerusakan ini tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga pada kehidupan masyarakat yang menggantungkan hidup dari sektor perikanan dan pariwisata.
Penolakan dari Masyarakat Adat dan Aktivis
Gelombang penolakan terhadap aktivitas tambang nikel di Raja Ampat semakin menguat. Masyarakat adat Suku Betew dan Maya, yang tersebar di 12 kampung di Distrik Waigeo Barat Kepulauan dan Distrik Waigeo Barat Daratan, dengan tegas menolak keberadaan aktivitas pertambangan nikel di wilayah mereka. Penolakan ini disampaikan melalui petisi resmi yang diajukan kepada anggota DPRD Kabupaten Raja Ampat pada 24 Maret 2025.
Dalam petisi tersebut, masyarakat adat menyatakan bahwa izin konsesi tambang yang diberikan kepada PT Mulia Raymon Perkasa (MRP) di Pulau Batan Pele dan Pulau Manyaifun mencakup area seluas 2.193 hektare. Mereka menegaskan bahwa wilayah ini bukan hanya tanah adat mereka, tetapi juga kawasan hutan lindung yang memiliki nilai ekologis tinggi .
Selain itu, empat organisasi pariwisata yang tergabung dalam Koalisi Persatuan Pelaku Wisata Raja Ampat juga secara tegas mendukung penolakan terhadap aktivitas tambang di pulau tersebut. Mereka menekankan bahwa keberadaan tambang di kawasan Raja Ampat akan merusak daya tarik utama pariwisata yang menjadi sumber ekonomi lokal, serta memberikan dampak buruk pada kelestarian lingkungan .
Keterlibatan Politik dalam Pemberian Izin
Isu pertambangan nikel di Raja Ampat semakin kompleks dengan dugaan adanya keterlibatan aktor politik dalam pemberian izin tambang. Beberapa pihak menduga bahwa izin tambang diberikan untuk kepentingan kelompok tertentu, mengingat Raja Ampat merupakan kawasan yang kaya akan sumber daya alam dan memiliki potensi ekonomi yang besar.
Masyarakat dan aktivis lingkungan mendesak pemerintah untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan pertambangan di Raja Ampat dan memastikan bahwa keputusan yang diambil berpihak pada kepentingan masyarakat dan kelestarian lingkungan.
Tanggapan Pemerintah dan Langkah Selanjutnya
Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian ESDM, telah mengambil langkah tegas dengan mencabut izin empat perusahaan tambang nikel di Raja Ampat. Namun, PT Gag Nikel yang merupakan anak perusahaan dari PT Aneka Tambang (Antam) tetap diperbolehkan beroperasi, meskipun sempat dihentikan sementara.
Presiden Joko Widodo menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan. Beliau juga mengingatkan bahwa Raja Ampat merupakan aset nasional yang harus dilindungi untuk generasi mendatang.
Ke depan, pemerintah diharapkan dapat melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan pertambangan di Raja Ampat dan memastikan bahwa keputusan yang diambil berpihak pada kepentingan masyarakat dan kelestarian lingkungan. Selain itu, transparansi dalam pemberian izin dan pengawasan terhadap aktivitas tambang perlu ditingkatkan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang dan kerusakan lingkungan yang lebih parah.
Aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat menimbulkan dilema antara potensi ekonomi dan ancaman terhadap lingkungan. Meskipun pertambangan dapat memberikan kontribusi terhadap perekonomian daerah, dampak negatif terhadap ekosistem laut dan kehidupan masyarakat lokal tidak dapat diabaikan. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang bijak dan berkelanjutan dalam pengelolaan sumber daya alam di kawasan ini.
Masyarakat, pemerintah, dan semua pihak terkait harus bekerja sama untuk menjaga kelestarian Raja Ampat sebagai warisan dunia yang tak ternilai harganya.