JAKARTA - Langkah pemerintah mencabut izin usaha pertambangan (IUP) dari empat perusahaan di kawasan Raja Ampat, Papua Barat Daya, menuai beragam tanggapan dari kalangan aktivis lingkungan. Meski kebijakan ini dinilai sebagai sinyal positif dalam upaya perlindungan ekosistem yang kaya biodiversitas tersebut, sejumlah pihak mengingatkan agar pemerintah tidak bersikap tebang pilih dalam menegakkan aturan perlindungan lingkungan.
Salah satu yang menyoroti langkah ini adalah Greenpeace Indonesia. Organisasi lingkungan global tersebut meminta pemerintah untuk lebih konsisten dan menyeluruh dalam menertibkan seluruh aktivitas industri ekstraktif yang mengancam kelestarian kawasan Raja Ampat, bukan hanya kepada empat perusahaan.
Pencabutan IUP: Langkah Awal yang Positif
Pemerintah melalui pernyataan resmi yang diumumkan di Kantor Kepresidenan Jakarta pada Selasa, 10 Juni 2025, mengonfirmasi pencabutan empat IUP di wilayah Raja Ampat. Langkah ini dilakukan sebagai bagian dari komitmen nasional dalam menjaga warisan alam dunia dan memperkuat sistem perlindungan kawasan konservasi strategis.
Kepala Global Greenpeace untuk Kampanye Hutan Indonesia, Kiki Taufik, menanggapi positif langkah ini, seraya menegaskan bahwa ini adalah langkah awal menuju perubahan yang lebih besar. “Pencabutan empat IUP yang diumumkan pada Selasa di Kantor Kepresidenan Jakarta menjadi kabar baik serta menjadi salah satu langkah penting menuju perlindungan Raja Ampat secara penuh dan permanen,” ujar Kiki dalam pernyataannya.
Tuntutan Agar Tidak Tebang Pilih
Meski demikian, Kiki mengingatkan bahwa kebijakan ini tidak boleh berhenti pada pencabutan empat perusahaan saja. Menurutnya, masih terdapat beberapa perusahaan yang beroperasi di kawasan yang sangat sensitif secara ekologis ini, dan harus segera dievaluasi izin usahanya demi kelangsungan lingkungan dan keberlanjutan hidup masyarakat adat setempat.
“Pemerintah seharusnya tidak hanya mencabut empat IUP. Semua aktivitas ekstraktif yang berpotensi merusak ekosistem Raja Ampat harus dihentikan tanpa pandang bulu,” tegasnya. Ia menambahkan bahwa pendekatan selektif dan tebang pilih hanya akan menciptakan ketidakadilan dan memperburuk kerusakan ekologis yang sudah terjadi.
Raja Ampat: Kawasan Strategis yang Perlu Perlindungan Penuh
Raja Ampat dikenal dunia sebagai salah satu kawasan dengan keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia. Wilayah ini memiliki lebih dari 500 jenis karang dan 1.500 lebih spesies ikan, menjadikannya sebagai salah satu surga biodiversitas laut yang paling penting di planet ini.
Selain itu, Raja Ampat juga merupakan rumah bagi masyarakat adat yang hidup secara tradisional dan bergantung pada ekosistem laut dan darat untuk bertahan hidup. Keberadaan industri ekstraktif seperti pertambangan dikhawatirkan dapat merusak habitat alami, mengganggu mata pencaharian masyarakat lokal, dan menghancurkan struktur sosial serta budaya mereka.
Greenpeace Soroti Transparansi dan Akuntabilitas Pemerintah
Greenpeace juga menyoroti pentingnya transparansi dalam proses pencabutan izin usaha pertambangan. Menurut Kiki, pemerintah perlu membuka data secara lengkap kepada publik mengenai perusahaan-perusahaan mana saja yang masih beroperasi di kawasan Raja Ampat dan bagaimana evaluasi terhadap aktivitas mereka dilakukan.
“Tanpa transparansi, masyarakat tidak bisa mengawasi dan mengawal proses ini secara demokratis. Pemerintah harus menyampaikan data perusahaan yang telah dan belum dievaluasi serta kriteria pencabutan IUP yang digunakan,” ujar Kiki.
Ia juga mendorong keterlibatan aktif masyarakat adat dan organisasi lingkungan dalam proses pengawasan dan perlindungan wilayah Raja Ampat ke depan. Menurutnya, peran masyarakat lokal sangat penting karena mereka merupakan penjaga alam yang paling mengetahui kondisi lapangan.
Seruan Moratorium Total Aktivitas Pertambangan
Sebagai bagian dari kampanye penyelamatan hutan dan laut Indonesia, Greenpeace menyerukan moratorium total terhadap aktivitas pertambangan dan eksploitasi sumber daya alam di seluruh kawasan Raja Ampat. Seruan ini dilandaskan pada kebutuhan mendesak untuk menghentikan degradasi lingkungan yang sudah berlangsung cukup lama.
“Kami mendorong adanya kebijakan moratorium total untuk pertambangan di Raja Ampat. Kawasan ini seharusnya menjadi zona perlindungan penuh, bukan tempat untuk eksploitasi,” ujar Kiki lagi.
Ia juga mengingatkan bahwa kebijakan pembangunan harus berlandaskan pada prinsip keberlanjutan dan keadilan ekologis, yang mempertimbangkan hak-hak masyarakat adat serta menjaga ekosistem agar tetap lestari untuk generasi mendatang.
Dukungan dan Harapan dari Berbagai Pihak
Langkah pencabutan izin tambang di Raja Ampat juga disambut positif oleh banyak pihak, termasuk organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan tokoh masyarakat adat. Mereka melihat keputusan ini sebagai bentuk pengakuan atas pentingnya Raja Ampat sebagai kawasan yang harus dilindungi dari ancaman industri skala besar.
Namun, mereka juga berharap bahwa langkah ini tidak hanya bersifat simbolis atau politis, melainkan diikuti dengan aksi nyata dan kebijakan yang terukur untuk memulihkan kawasan yang telah terdampak serta mencegah eksploitasi lebih lanjut.
Momentum untuk Perlindungan Lingkungan yang Lebih Serius
Pencabutan empat izin usaha pertambangan oleh pemerintah di kawasan Raja Ampat merupakan awal yang patut diapresiasi. Namun, Greenpeace Indonesia melalui Kepala Kampanye Hutan, Kiki Taufik, menegaskan bahwa langkah ini harus diperluas dan diperdalam. Pemerintah diminta untuk bertindak secara menyeluruh dan tidak tebang pilih dalam menindak semua aktivitas ekstraktif yang mengancam kawasan tersebut.
Dengan langkah konkret, transparan, dan inklusif, pemerintah dapat memperkuat posisi Indonesia sebagai negara yang berkomitmen terhadap perlindungan lingkungan dan keadilan ekologis. Momentum ini diharapkan menjadi titik balik bagi upaya konservasi Raja Ampat secara permanen dan menyeluruh.