PAJAK

Pajak Digital Lewat Marketplace: Inklusi atau Beban Baru

Pajak Digital Lewat Marketplace: Inklusi atau Beban Baru
Pajak Digital Lewat Marketplace: Inklusi atau Beban Baru

JAKARTA - Transformasi digital telah melahirkan ekosistem perdagangan baru yang serba cepat, mudah, dan tanpa batas geografis. Namun di balik kemudahan bertransaksi, ada tanggung jawab fiskal yang tak kalah penting: kepatuhan pajak. Pemerintah pun mengambil langkah progresif dengan menetapkan marketplace sebagai pemungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 bagi para pelaku usaha dalam negeri. Kebijakan ini bukan sekadar upaya meningkatkan penerimaan negara, tetapi juga strategi untuk mendorong transparansi dan kesetaraan di antara pelaku usaha daring dan konvensional.

Langkah ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025 tentang penunjukan pihak lain sebagai pemungut PPh serta tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan atas penghasilan pedagang dalam negeri melalui sistem elektronik.

Inti dari aturan tersebut adalah menjadikan penyelenggara marketplace atau platform e-commerce sebagai pemungut PPh Pasal 22 sebesar 0,5% dari omset penjualan para pedagang. Sistem ini menyasar pedagang dalam negeri yang berjualan melalui platform digital, baik individu maupun badan usaha.

Pemotongan Otomatis, Beban Administratif Berkurang

Bagi pelaku usaha, terutama UMKM, pengelolaan administrasi pajak bukan perkara mudah. Menghitung omset, menyetorkan pajak, hingga melaporkan dalam SPT Tahunan memerlukan pemahaman serta ketelitian yang cukup. Skema pemungutan langsung oleh marketplace menjadi angin segar karena memangkas tahapan administratif tersebut.

Marketplace, sebagai pihak pemungut, akan secara otomatis memotong 0,5% dari omset penjualan kotor pedagang sebelum dana diteruskan. Contohnya, jika seorang penjual meraih omset Rp100 juta dalam sebulan, maka Rp500 ribu akan dipotong sebagai PPh Pasal 22 dan disetor ke kas negara, sementara Rp99,5 juta akan masuk ke rekening pedagang.

Bagi pedagang yang omsetnya belum mencapai Rp500 juta per tahun, pungutan ini dikecualikan. Namun hal ini perlu dibuktikan dengan surat pernyataan sesuai ketentuan. Sementara bagi yang melebihi batasan Rp4,8 miliar, atau memilih menggunakan perhitungan pajak dengan skema umum, maka pemotongan tetap dilakukan dan bisa menjadi kredit pajak dalam pelaporan tahunan.

Skema Lama yang Diperluas, Bukan Kebijakan Baru

Penting untuk dicatat, kebijakan pemungutan pajak oleh pihak ketiga bukanlah hal baru dalam sistem perpajakan Indonesia. PMK Nomor 58 Tahun 2022 telah mengatur mekanisme serupa dan menjadi landasan penunjukan pihak seperti penyelenggara e-commerce sebagai pemungut pajak. Apa yang dilakukan dalam PMK 37 Tahun 2025 ini hanyalah memperluas cakupan kebijakan yang sudah ada agar dapat menjangkau sektor ekonomi digital yang berkembang pesat.

Jika sebelumnya kebijakan hanya berlaku bagi transaksi tertentu dan pembeli dari pihak pemerintah, kini cakupannya meluas hingga seluruh aktivitas perdagangan digital. Ini merupakan penyesuaian terhadap realita baru di mana transaksi konvensional perlahan bergeser ke sistem online.

Kekhawatiran UMKM: Wajar Tapi Perlu Disikapi

Tentu saja, respons beragam muncul dari kalangan pelaku UMKM online. Kekhawatiran terhadap pengurangan pendapatan, ketidakjelasan bukti pemungutan pajak, hingga cara menghitung pungutan kerap mengemuka. Namun sebenarnya, sistem ini memiliki potensi untuk memberikan kemudahan jika dipahami dan dijalankan dengan benar.

Fakta bahwa marketplace akan langsung menyetor pajak atas nama pedagang justru bisa menjadi bukti kuat ketika dilakukan pemeriksaan atau audit pajak. Data omset yang valid dan pelaporan yang otomatis membuat pelaku usaha lebih siap dan aman dari risiko hukum.

Selain itu, bagi pelaku usaha kecil yang belum terbiasa berurusan dengan pajak, sistem ini juga berperan sebagai edukasi fiskal secara tidak langsung. Mereka akan mulai terbiasa mengetahui hak dan kewajiban perpajakan yang sebelumnya mungkin terabaikan.

Kontribusi terhadap Sistem yang Lebih Adil

Dengan skema pemungutan ini, pemerintah juga berupaya menciptakan keadilan antara pelaku usaha digital dan konvensional. Selama ini, pelaku usaha luring telah terbiasa dikenai pajak, sedangkan penjual online kerap luput dari pantauan. Perbedaan perlakuan ini dapat menimbulkan ketimpangan dalam iklim usaha.

Marketplace sebagai pemungut juga memberikan keleluasaan bagi otoritas pajak untuk menjangkau lebih banyak potensi pajak yang sebelumnya tersembunyi di ranah digital. Lebih dari sekadar target penerimaan negara, kebijakan ini mencerminkan upaya pemerintah memperkuat basis data perpajakan secara menyeluruh.

Potensi Manfaat Lebih Besar

Skema baru ini memang memerlukan waktu untuk disosialisasikan dan dipahami secara menyeluruh. Namun, jika dilihat dari potensi manfaat jangka panjangnya, kebijakan ini dapat mendorong tertib administrasi perpajakan secara luas.

Lebih jauh, dengan semakin banyaknya pelaku usaha digital yang terintegrasi dalam sistem pajak, pemerintah juga memiliki pijakan lebih kuat dalam menyusun kebijakan fiskal ke depan. Pelaporan yang lebih rapi, sistematis, dan digital akan mengurangi potensi penghindaran pajak dan memperkuat sistem pengawasan.

Tenang atau Tegang, Tergantung Pemahaman

Maka, ketika muncul pertanyaan "Apakah para pedagang online harus tenang atau tegang?", jawabannya tergantung pada tingkat pemahaman dan kesiapan mereka dalam menghadapi perubahan ini. Dengan literasi perpajakan yang baik, para pelaku usaha digital seharusnya justru merasa lebih tenang karena semua proses administratif kini dibantu oleh sistem marketplace yang telah ditunjuk.

Dengan pendekatan yang transparan dan adaptif seperti ini, harapannya bukan hanya pajak yang tumbuh, tetapi juga kesadaran kolektif untuk membangun Indonesia yang lebih tangguh melalui gotong royong fiskal.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index