JAKARTA - Langkah konkret untuk memperkuat sistem pengawasan dan integritas sektor jasa keuangan kembali dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui kerja sama strategis dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Kolaborasi ini diwujudkan lewat penandatanganan Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU), yang menjadi fondasi pertukaran dan pemanfaatan data antar-lembaga.
Perjanjian tersebut bukan sekadar administrasi formal, melainkan bentuk sinergi yang bertujuan untuk memperkuat ekosistem hukum dan keuangan nasional. Melalui penyediaan, pertukaran, dan pemanfaatan informasi, kedua lembaga ini menyasar peningkatan efektivitas dalam pelaksanaan tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing.
Dalam implementasinya, perjanjian ini menjadi tindak lanjut dari Nota Kesepahaman antara Ketua Dewan Komisioner OJK dan Menteri Hukum RI. Tujuan utamanya adalah untuk mendukung kebijakan dan pengawasan yang lebih tepat sasaran, terutama terkait dengan aspek hukum perusahaan dan pengawasan jaminan fidusia di sektor pembiayaan.
Deputi Komisioner Stabilitas Sistem Keuangan OJK, Agus E. Siregar, menyampaikan bahwa langkah ini sangat penting, khususnya dalam konteks pelaksanaan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Menurutnya, untuk memberikan kepastian hukum dalam sektor pembiayaan, setiap jaminan fidusia harus didaftarkan ke kantor pendaftaran fidusia. Dalam konteks ini, akses terhadap data dari Ditjen AHU akan memperkuat validasi dan pengawasan OJK terhadap kepatuhan pelaku usaha pembiayaan.
“PKS terkait pertukaran data ini merupakan salah satu tindak lanjut dari Nota Kesepahaman antara OJK dan Kemenkum yang telah ditetapkan oleh Ketua Dewan Komisioner OJK dan Menteri Hukum Republik Indonesia,” ujar Agus.
Dari sudut pandang otoritas hukum, kerja sama ini juga sangat relevan untuk mempercepat dan memperkuat pengawasan terhadap kewajiban legal yang harus dipenuhi oleh entitas bisnis. Sekretaris Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Widodo, menekankan pentingnya pertukaran data ini, khususnya dalam konteks peningkatan efektivitas pengawasan terhadap kewajiban pendaftaran jaminan fidusia.
Tak hanya itu, pelaksanaan perjanjian ini juga dinilai menjadi bentuk nyata dukungan terhadap penerapan prinsip mengenali pemilik manfaat (beneficial ownership) dari suatu korporasi. Hal ini sejalan dengan amanat Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018, yang menjadi pilar penting dalam pencegahan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan pendanaan terorisme.
Informasi mengenai pemilik manfaat suatu badan hukum merupakan komponen esensial dalam menjaga transparansi dan akuntabilitas pelaku usaha. Ketika data ini terintegrasi dan tersedia secara real-time bagi otoritas pengawas, maka langkah-langkah preventif terhadap aktivitas keuangan yang mencurigakan bisa dilakukan secara lebih cepat dan akurat.
Kerja sama ini juga dihubungkan langsung dengan upaya nasional dalam mendukung pelaksanaan Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) 2025–2026. Salah satu pilar penting dari strategi tersebut adalah keterbukaan informasi terkait pemilik manfaat dan transparansi korporasi, yang kini mendapat dukungan teknis melalui integrasi data antara OJK dan Ditjen AHU.
Langkah strategis ini merupakan wujud komitmen nyata dari dua lembaga penting negara dalam memperkuat sistem pengawasan dan integritas sektor jasa keuangan. Dengan sistem data yang lebih terintegrasi, diharapkan setiap proses perizinan dan pengawasan dapat dilakukan secara lebih tepat dan efisien, serta memberikan perlindungan yang lebih baik bagi konsumen jasa keuangan.
Dari sisi pengawasan internal OJK, data valid yang bersumber dari AHU juga akan memperkuat proses verifikasi saat mengkaji entitas bisnis yang mengajukan perizinan. Ini sekaligus mencegah munculnya entitas abal-abal yang kerap memanfaatkan celah kelemahan administratif.
“Melalui pertukaran data dengan Ditjen AHU, pengawasan terhadap kewajiban pendaftaran jaminan fidusia dapat dilakukan secara lebih efektif,” jelas Widodo.
Lebih lanjut, perjanjian ini juga diharapkan memperkuat koordinasi lintas lembaga dalam menjaga validitas data profil badan hukum dan kepemilikan manfaat. Validasi data yang akurat akan menjadi landasan kuat dalam proses pengambilan keputusan yang berbasis risiko, sebagaimana yang dicanangkan dalam penguatan manajemen risiko sektor jasa keuangan nasional.
Kolaborasi ini juga menandai perubahan paradigma dalam pendekatan pengawasan. Jika selama ini pengawasan lebih bersifat administratif dan berbasis pelaporan manual, maka melalui kerja sama ini, pengawasan akan bertransformasi menjadi sistemik dan berbasis digital.
OJK dan Ditjen AHU menegaskan komitmen mereka untuk terus memperluas kerja sama ini, tidak hanya terbatas pada jaminan fidusia dan beneficial ownership, namun juga membuka ruang kerja sama lainnya yang berkaitan dengan perlindungan hukum dan pengawasan sektor keuangan ke depan.
Dengan langkah sinergis ini, kedua institusi menargetkan terciptanya ekosistem jasa keuangan dan hukum yang semakin akuntabel, kredibel, dan mampu merespons dinamika yang berkembang pesat di era digital saat ini. Integrasi data bukan hanya mendukung pelaksanaan regulasi, tetapi juga mendorong kepercayaan publik terhadap sistem yang dibangun oleh negara untuk menjaga kepastian hukum dan kestabilan keuangan nasional.