JAKARTA - Meski indikator pasar menunjukkan likuiditas perbankan dalam negeri tergolong longgar dan mencukupi, dinamika sektor keuangan Indonesia masih diwarnai kehati-hatian tinggi dalam penyaluran kredit. Bank Indonesia (BI) menegaskan bahwa kondisi ini bukan disebabkan oleh kekurangan dana, melainkan oleh preferensi bank dalam mengelola aset serta peningkatan standar pemberian kredit.
Kepala Departemen Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas BI, Erwin Gunawan Hutapea, menjelaskan bahwa indikator likuiditas yang menjadi acuan BI, yakni Indonesia Overnight Index Average (IndONIA), menunjukkan tren penurunan. Ini menandakan bahwa dana yang beredar di pasar uang antarbank dalam negeri berada dalam jumlah yang sangat mencukupi.
"Ini menunjukkan bahwa liquidity yang ada di pasar itu berada pada jumlah yang sangat mencukupi," ujar Erwin dalam media briefing di kantor BI.
IndONIA sendiri merupakan suku bunga acuan untuk transaksi antar bank dengan tenor satu hari (overnight). Pergerakan suku bunga ini mencerminkan kondisi penawaran dan permintaan dana di pasar. Ketika suku bunga turun, hal tersebut mencerminkan bahwa perbankan memiliki kelebihan dana sehingga tidak ada kebutuhan untuk menawarkan bunga tinggi demi memperoleh likuiditas jangka pendek.
Tak hanya itu, BI juga mencatat bahwa rata-rata dana yang beredar di pasar keuangan pada pagi hari mencapai lebih dari Rp90 triliun. Angka tersebut menjadi bukti konkret lain bahwa kondisi likuiditas tidak dalam keadaan ketat, meski muncul beberapa pandangan yang menyebut sebaliknya.
"Sehingga kalau ada pandangan yang mengatakan liquidity berada dalam kondisi ketat, di pasar (uang) setidaknya kami bisa katakan liquidity itu berada pada jumlah yang sangat memadai," tambah Erwin.
Pandangan senada juga diungkapkan oleh Gubernur BI Perry Warjiyo. Ia menyatakan bahwa indikator lain yang digunakan untuk mengukur kesehatan likuiditas perbankan, yaitu rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK), tercatat sebesar 27,05 persen per Juni 2025. Rasio tersebut termasuk tinggi dan menunjukkan bahwa perbankan menyimpan cadangan likuiditas yang cukup besar dibandingkan dengan total dana pihak ketiga yang dihimpun.
Namun demikian, terdapat anomali dalam distribusi dana tersebut. Meski dana mencukupi, pertumbuhan kredit justru mengalami perlambatan. Pada Juni 2025, kredit perbankan hanya tumbuh sebesar 7,7 persen secara tahunan (year on year), lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya yang mencatat pertumbuhan 8,43 persen (yoy).
Fenomena ini disebut-sebut berkaitan dengan sikap hati-hati perbankan dalam menyalurkan kredit. Banyak bank lebih memilih menempatkan dananya pada instrumen surat berharga ketimbang memperbesar eksposur kredit.
"Jadi dari sisi preferensi, bank menaruh alat likuidnya pada surat-surat berharga dibandingkan mendorong kredit. Dan juga kelihatan lending standard yang meningkat," ujar Erwin.
Peningkatan lending standard tersebut menjadi langkah antisipatif bank untuk menjaga kualitas aset mereka di tengah tantangan ekonomi global yang masih belum sepenuhnya pulih. Perbankan terlihat lebih selektif dalam menilai kelayakan debitur untuk menghindari lonjakan risiko kredit bermasalah.
Fenomena penempatan dana di surat berharga oleh perbankan sebenarnya bukan hal baru. Dalam kondisi pasar yang penuh ketidakpastian, instrumen seperti obligasi pemerintah atau surat berharga negara menjadi pilihan aman karena memberikan imbal hasil tetap dan risiko yang relatif rendah. Sementara itu, penyaluran kredit memerlukan penilaian risiko yang lebih kompleks, terutama dalam situasi perekonomian yang belum sepenuhnya stabil.
Di sisi lain, Bank Indonesia terus berupaya menjaga stabilitas moneter dan sistem keuangan nasional dengan menjaga kecukupan likuiditas dan menyesuaikan kebijakan suku bunga secara terukur. Stabilitas likuiditas yang terjaga merupakan prasyarat penting untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional, termasuk dalam mendorong sektor riil melalui penyaluran kredit yang sehat.
Kondisi likuiditas yang memadai juga memberikan ruang bagi BI untuk tetap adaptif dalam kebijakan moneternya, termasuk merespons dinamika inflasi, nilai tukar, dan suku bunga global. BI juga menegaskan bahwa dukungan kepada sektor perbankan akan terus diberikan guna menjaga momentum pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan.
Dengan stabilnya IndONIA dan tingginya rasio AL/DPK, BI menyampaikan keyakinan bahwa sistem keuangan nasional dalam posisi kuat untuk menopang pertumbuhan, meski tetap membutuhkan kerja sama lintas sektor untuk memastikan kredit kembali mengalir deras ke sektor-sektor produktif.
Penurunan pertumbuhan kredit menjadi perhatian karena kredit merupakan salah satu penggerak utama roda ekonomi. Apabila distribusinya tersendat, pemulihan ekonomi bisa melambat. Oleh karena itu, perlu ada sinergi antara otoritas moneter, lembaga perbankan, serta pelaku usaha untuk membangun kepercayaan dan memastikan bahwa dana yang tersedia bisa disalurkan dengan optimal.
Secara keseluruhan, Bank Indonesia memastikan bahwa sistem perbankan nasional saat ini memiliki likuiditas yang memadai. Namun, keputusan akhir untuk menyalurkan dana tersebut ke sektor riil berada di tangan industri perbankan, yang saat ini cenderung memilih jalur yang lebih konservatif.
Dengan segala dinamika ini, arah kebijakan ke depan akan sangat ditentukan oleh bagaimana kepercayaan dan optimisme bisa terus dibangun. Keseimbangan antara kehati-hatian perbankan dan dorongan ekspansi kredit akan menjadi kunci dalam menjaga stabilitas sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.