JAKARTA - Pergerakan harga minyak global kembali menjadi sorotan setelah pasar mencatat lonjakan signifikan dalam perdagangan terbaru. Kenaikan harga yang cukup tajam ini mencerminkan sensitivitas pelaku pasar terhadap dinamika geopolitik dan kerja sama ekonomi antarnegara besar. Dalam situasi ini, kombinasi antara keputusan politik dan manuver diplomatik menjadi pemicu utama yang menggerakkan pasar komoditas energi, khususnya minyak mentah.
Lonjakan sekitar 2 persen pada harga minyak mentah mencerminkan reaksi pasar terhadap dua perkembangan besar: kesepakatan dagang antara Amerika Serikat dan Uni Eropa, serta tekanan terbaru yang dilancarkan Presiden AS Donald Trump kepada Rusia terkait invasi Ukraina. Keduanya memberikan dorongan yang cukup kuat bagi harga komoditas ini untuk kembali menguat setelah mengalami fluktuasi dalam beberapa pekan sebelumnya.
Minyak Brent, yang menjadi acuan global, tercatat naik sebesar 2,3 persen dan diperdagangkan pada kisaran USD70,04 per barel. Sementara itu, West Texas Intermediate (WTI) juga mengalami penguatan sebesar 2,4 persen dan mencapai USD66,71 per barel. Kenaikan ini terjadi di tengah ketidakpastian global, namun justru menjadi sinyal optimisme baru yang didorong oleh pengaruh kebijakan ekonomi dan tekanan diplomatik.
Pernyataan Presiden Trump yang mempercepat tenggat waktu bagi Rusia untuk menarik pasukannya dari Ukraina, dari sebelumnya 50 hari menjadi hanya sekitar 10 hingga 12 hari, menjadi salah satu faktor yang memanaskan pasar. Respons cepat pasar terhadap pernyataan ini menunjukkan betapa eratnya hubungan antara ketegangan geopolitik dan volatilitas harga minyak.
Brent bahkan sempat menyentuh posisi tertingginya dalam rentang 10 hari terakhir, menandakan momentum penguatan yang cukup kuat di tengah kondisi yang belum sepenuhnya stabil. Reaksi pasar ini juga mengisyaratkan betapa pentingnya peran Amerika Serikat dalam mendorong arah kebijakan global, khususnya dalam sektor energi dan perdagangan.
Menurut Tony Sycamore, analis dari IG, kesepakatan antara AS dan Uni Eropa serta potensi perpanjangan gencatan tarif antara AS dan China turut memperkuat posisi pasar keuangan global, termasuk sektor energi. Ia menilai, arus sentimen positif ini menjadi sinyal penting bagi investor yang tengah memantau arah kebijakan perdagangan internasional.
Berdasarkan laporan yang dirilis Reuters, perjanjian dagang yang diumumkan mencakup pemberlakuan tarif impor sebesar 15 persen oleh Amerika Serikat terhadap sebagian besar produk dari kawasan Uni Eropa. Namun, dalam perjanjian yang sama, terdapat komitmen Uni Eropa untuk meningkatkan pembelian energi dari Amerika Serikat hingga mencapai nilai USD750 miliar dalam beberapa tahun ke depan. Langkah ini dinilai sebagai bagian dari upaya mengurangi ketergantungan Eropa terhadap pasokan energi dari Rusia.
Analis energi dari Price Futures Group, Phil Flynn, menyebut bahwa kesepakatan tersebut tidak hanya memberi keuntungan bagi produsen energi Amerika Serikat, tetapi juga secara strategis menekan Rusia. "Eropa akan harus melepas sebagian besar pasokan energi yang mereka dapat dari Rusia," ungkap Flynn. Ia menambahkan bahwa perjanjian ini memperkuat posisi AS di pasar energi global dan sekaligus meningkatkan tekanan terhadap Presiden Rusia Vladimir Putin agar segera membuka jalur negosiasi.
Sementara itu, perkembangan lain yang juga mempengaruhi sentimen pasar datang dari pertemuan antara pejabat tinggi Amerika Serikat dan China di Stockholm. Keduanya tengah membahas kemungkinan perpanjangan kesepakatan gencatan tarif menjelang batas waktu yang semakin dekat. Jika tercapai, perpanjangan ini akan menambah stabilitas bagi pasar global yang selama ini diguncang oleh ketegangan antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia.
Tamas Varga, analis dari PVM, menilai bahwa kesepakatan dagang antara Amerika dan Eropa telah meredakan sebagian besar ketidakpastian yang selama ini membebani pasar minyak. Namun, ia juga memperingatkan bahwa penguatan nilai dolar Amerika dan menurunnya impor minyak dari India bisa menjadi faktor yang menekan harga dalam waktu dekat. Kedua hal ini perlu diperhatikan sebagai indikator yang bisa membatasi kenaikan harga jika tidak diimbangi dengan peningkatan permintaan yang stabil.
Dari sisi pasokan, organisasi negara-negara pengekspor minyak dan sekutunya (OPEC+) kembali mengingatkan pentingnya kepatuhan penuh terhadap kesepakatan produksi yang telah disepakati sebelumnya. Dalam pertemuan panel yang digelar baru-baru ini, OPEC+ menegaskan komitmen untuk menjaga stabilitas pasar dengan menahan produksi sesuai target. Pertemuan delapan negara anggota koalisi dijadwalkan berlangsung dalam waktu dekat untuk mengevaluasi kemungkinan penyesuaian produksi pada bulan September mendatang.
Lembaga riset ING dalam analisanya menyebut bahwa OPEC+, yang mencakup negara-negara seperti Arab Saudi dan Rusia, tengah bersiap menyelesaikan pemulihan pasokan secara penuh. Pengembalian ini merupakan kelanjutan dari pemangkasan sukarela tambahan sebesar 2,2 juta barel per hari, dan ditargetkan akan selesai paling lambat akhir kuartal ketiga tahun ini.
Kondisi pasar minyak saat ini menunjukkan bahwa faktor geopolitik dan diplomasi dagang masih menjadi penggerak utama. Meskipun fundamental seperti suplai dan permintaan tetap relevan, namun sinyal-sinyal dari para pemimpin dunia dan arah kebijakan luar negeri terbukti mampu menggeser ekspektasi pasar secara drastis. Dalam konteks ini, pelaku pasar dan investor diharapkan lebih waspada terhadap perkembangan global, yang sewaktu-waktu dapat mengubah dinamika harga energi secara signifikan.