JAKARTA - Keresahan kembali mencuat di kalangan warga Sragen, Jawa Tengah, akibat kelangkaan gas elpiji 3 kg yang terjadi dalam sepekan terakhir. Gas bersubsidi yang dikenal dengan sebutan "gas melon" itu kini sulit diperoleh di sejumlah wilayah dan dijual dengan harga jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET).
Kondisi ini menambah beban masyarakat, terutama pelaku usaha kecil yang sangat bergantung pada ketersediaan gas bersubsidi untuk menjalankan aktivitas harian mereka. Lonjakan harga yang terjadi di tingkat pengecer membuat warga bertanya-tanya: apakah ini hanya efek distribusi atau ada permainan dalam rantai pasokan?
Pantauan dari lapangan menunjukkan lonjakan harga yang signifikan. Di Desa Gading, Kecamatan Tanon, harga gas elpiji 3 kg mencapai Rp 23.000 per tabung. Sementara di Desa Ngandul, Kecamatan Sumberlawang, harga bahkan menembus Rp 26.000 per tabung. Padahal, harga normal sebelumnya hanya sekitar Rp 19.000.
Warga Desa Ngandul, berinisial M (50), mengaku tak punya pilihan lain selain membeli meski harga melambung. “Iya, sudah hampir satu bulan ini langka dan mahal. Harga biasanya Rp 19.000, tapi karena langka, kemarin di toko pengecer milik anaknya Pak Haji Sutrisno dijual Rp 25.000, di toko Bu Sadirah dekat Terminal Sumberlawang juga Rp 25.000, dan di toko Pak Udin pojokan terminal Rp 21.000. Di tengah kampung lain pun harga berkisar Rp 22.000. Di Sumber Cepoko saja Rp 21.000. Karena barangnya sulit dicari, ya mau tidak mau kami beli meskipun mahal karena kebutuhan,” ujarnya.
Situasi ini tak hanya dirasakan di Sumberlawang, tetapi juga merembet ke wilayah lain seperti Kecamatan Kalijambe. Di Desa Krikilan dan Bukuran, harga gas yang biasanya Rp 19.000 kini naik menjadi Rp 20.000 hingga Rp 22.000 per tabung. Kenaikan serupa terjadi di Kroyo dan Puro, Kecamatan Karangmalang, yang mulai dilanda kelangkaan gas.
Yang lebih memprihatinkan, sejumlah pangkalan sudah kehabisan stok dan memasang tulisan "Gas Habis" sejak pagi hari, sebelum pembeli datang. Hal ini terjadi di wilayah Gambiran, Kelurahan Sine, Kecamatan Sragen. Warga yang membutuhkan gas elpiji 3 kg harus mencari ke pengecer dengan harga yang jauh di atas HET.
“Harapannya kondisi bisa segera normal kembali. Jangan sampai masyarakat makin kesulitan di situasi seperti ini,” imbuh M, mengungkapkan kekhawatiran bahwa tingginya harga gas akan menjadi masalah berkepanjangan jika tidak segera diatasi oleh pemerintah.
Sementara itu, di Kecamatan Tangen, harga gas elpiji 3 kg juga mengalami lonjakan. Menurut Sri, salah satu warga setempat, harga gas di wilayah tersebut berada di kisaran Rp 23.000 hingga Rp 25.000. “Sulit, tapi ya masih ada yang jual,” ucapnya singkat.
Kelangkaan yang terus berulang setiap beberapa waktu ini menimbulkan tanda tanya besar di kalangan warga. Beberapa bahkan mulai mencurigai adanya praktik tidak wajar dalam distribusi gas. Isu yang berkembang menyebutkan bahwa sebagian jatah gas untuk Sragen diduga dialihkan ke wilayah lain, meski hingga kini belum ada konfirmasi resmi dari pihak berwenang.
Dampak dari kelangkaan ini sangat terasa di lapangan, terutama bagi warga menengah ke bawah. Usaha kecil seperti warung makan, penjual gorengan, dan pedagang keliling yang menggunakan kompor gas, mulai kesulitan memenuhi kebutuhan harian. Ketiadaan gas membuat sebagian dari mereka harus beralih ke bahan bakar alternatif seperti kayu bakar, yang tentu tidak praktis dan menambah beban kerja.
Pemerintah daerah dan lembaga terkait diminta segera turun tangan. Penanganan mendesak dibutuhkan untuk memastikan distribusi berjalan sesuai prosedur dan menghindari penimbunan maupun penyimpangan. Masyarakat berharap agar kuota gas subsidi tetap tepat sasaran dan harga dapat kembali stabil dalam waktu dekat.
Fenomena naik turunnya harga gas elpiji 3 kg dan kelangkaannya bukan pertama kali terjadi di Sragen. Sebelumnya, situasi serupa juga pernah terjadi di sejumlah kecamatan, namun belum ada solusi jangka panjang yang diterapkan secara menyeluruh.
Meskipun gas elpiji 3 kg merupakan komoditas bersubsidi, kenyataannya harga di tingkat pengecer sering kali tidak sesuai dengan HET. Celah inilah yang diduga menjadi ruang bagi spekulan untuk memainkan harga, terutama saat pasokan sedang terbatas.
Dengan kondisi ekonomi masyarakat yang masih belum pulih sepenuhnya, terutama pasca pandemi, krisis gas melon seperti ini menjadi pukulan tambahan. Ke depan, perlu ada pengawasan lebih ketat dari aparat dan transparansi distribusi dari agen hingga ke pengecer agar kelangkaan tak lagi menjadi agenda rutin tahunan.