JAKARTA - Pertamina New and Renewable Energy (Pertamina NRE) menunjukkan pertumbuhan signifikan dalam bisnis energi baru terbarukan (EBT) pada semester pertama 2025. Kinerja perusahaan mencerminkan kemajuan dalam pengembangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan panas bumi yang menjadi pilar utama strategi korporasi dalam mendukung transisi energi nasional.
Produksi Listrik dan Kapasitas Terpasang
Sepanjang enam bulan pertama tahun ini, Pertamina NRE berhasil membukukan kapasitas terpasang sebesar 2.842,10 megawatt (MW). Produksi listrik yang dihasilkan mencapai 4.226.027 megawatt hour (MWh), yang berarti telah mencapai 55,4 persen dari target tahunan dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) 2025 senilai 7.483.348 MWh.
Angka ini menunjukkan efektivitas pengelolaan aset dan operasi yang solid, terbukti dari tingkat gangguan operasi atau Equivalent Forced Outage Rate (EFOR) yang sangat rendah, yakni hanya 0,12 persen. “Tingkat gangguan rendah, mencerminkan efisiensi manajemen risiko operasional,” ungkap Corporate Secretary Pertamina NRE, Dicky Septriadi.
Kinerja Keuangan yang Positif
Dari sisi keuangan, Pertamina NRE mencatat pendapatan sebesar USD 209,09 juta (sekitar Rp 3,43 triliun) hingga Juni 2025, dengan laba bersih mencapai USD 52 juta (sekitar Rp 853 miliar). Realisasi investasi pun signifikan, mencapai USD 153,8 juta (sekitar Rp 2,53 triliun) pada paruh pertama tahun ini. Angka-angka ini menjadi bukti nyata pertumbuhan bisnis EBT yang menjanjikan dan berkelanjutan.
Ekspansi Bisnis Panas Bumi
Salah satu pendorong utama pertumbuhan ini adalah ekspansi di sektor panas bumi yang dikelola oleh anak usaha PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO). Saat ini, PGEO memiliki kapasitas terpasang sebesar 727 MW dan terus melakukan pengembangan proyek baru.
Dicky menambahkan, ke depannya akan ada penguatan kerja sama dengan PT PLN untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya panas bumi, salah satunya adalah proyek pemanfaatan uap di Hulu Lais. “Ini konsep strategi yang perlu dukungan penuh,” katanya, menggarisbawahi pentingnya kolaborasi antara BUMN dalam mendukung target energi nasional.
PGEO juga telah menandatangani head of agreement dengan PT PLN Indonesia Power (PLN IP) untuk mengembangkan proyek panas bumi di Ulubelu dan Lahendong, dengan target tambahan kapasitas masing-masing 30 MW dan 15 MW. Langkah ini diharapkan mempercepat pencapaian target kapasitas 1 gigawatt (GW) dalam dua hingga tiga tahun mendatang.
Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS)
Selain panas bumi, pengembangan pembangkit listrik tenaga surya juga menjadi fokus utama Pertamina NRE. Sampai saat ini, realisasi kapasitas PLTS telah mencapai 345,2 MWp, dengan sebagian besar unit terpasang di fasilitas milik Pertamina sendiri, seperti lapangan migas di Rokan, kompleks kilang, dan stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). “Kami kembangkan dahulu di halaman kami sendiri,” ujar Dicky, menekankan pendekatan bertahap yang diambil perusahaan.
Ekspansi Internasional melalui Akuisisi
Tak hanya mengandalkan pengembangan domestik, Pertamina NRE juga memperluas bisnisnya ke pasar internasional dengan mengakuisisi 20 persen saham Citicore Renewable Energy Corporation (CREC), perusahaan pembangkit listrik tenaga surya asal Filipina. Kesepakatan ini mencakup framework agreement untuk pengembangan proyek tenaga surya dan angin di Indonesia dan Filipina, serta pengadaan battery energy storage system (BESS), modul panel surya, dan implementasi carbon credit.
Dicky menilai langkah strategis ini sangat positif dan menegaskan kesiapan perusahaan untuk bersaing di luar negeri, sambil menunggu regulasi lebih lanjut di dalam negeri. “Ini akan sangat bermanfaat bagi perkembangan EBT di Indonesia,” katanya.
Mendukung Target Net Zero Emission 2060
Pencapaian dan langkah ekspansi Pertamina NRE tidak hanya mengukuhkan posisi perusahaan sebagai pemain utama di sektor energi baru terbarukan di kawasan Asia Tenggara, tetapi juga sejalan dengan target nasional untuk mencapai Net Zero Emission pada 2060. Transformasi ke energi bersih seperti PLTS dan panas bumi menjadi tulang punggung strategi pemerintah dan perusahaan untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan menekan emisi karbon.