JAKARTA - Sopir truk angkutan barang selama ini menghadapi tantangan kesejahteraan yang cukup serius, terutama terkait aturan zero over dimension overload (ODOL) yang diterapkan pemerintah. Untuk mengatasi masalah ini, Kementerian Ketenagakerjaan mengimbau para sopir truk agar segera mendaftarkan diri dalam program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Langkah ini dianggap sebagai solusi strategis untuk memperbaiki kondisi kesejahteraan sekaligus memperkuat pengawasan pemerintah terhadap pengupahan sopir.
Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan, Cris Kustadi, menyatakan bahwa program BPJS Ketenagakerjaan akan memberikan perlindungan yang dibutuhkan para sopir truk, sekaligus menjadi alat bagi pemerintah untuk memantau jam kerja dan kesejahteraan mereka. Hal ini penting, mengingat banyak sopir yang menolak aturan zero ODOL karena merasa penghasilan mereka berkurang akibat beban muatan yang dibatasi.
“Jadi kalau penghasilan mereka di bawah upah minimum regional, nanti akan ada pengawasan dari Kementerian Ketenagakerjaan,” jelas Cris Kustadi dalam konferensi pers yang berlangsung di Jakarta.
- Baca Juga JNE Karawang Perluas Layanan
Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Agus Harimurto Yudhoyono, turut menyambut baik inisiatif ini. Menurut Agus, penerapan program BPJS Ketenagakerjaan merupakan langkah konkret untuk mendorong peningkatan kesejahteraan sopir truk. Dengan kesejahteraan yang lebih baik, sopir tidak perlu lagi membawa muatan berlebihan demi menambah penghasilan, yang selama ini menjadi salah satu penyebab kecelakaan lalu lintas akibat kelebihan muatan.
“Kami bertekad kali ini benar-benar sukses. Banyak hal yang perlu dikawal agar tidak kembali menemukan jalan buntu,” ujar Agus. Ia juga menegaskan komitmennya untuk memberantas pungutan liar yang selama ini membebani sopir truk dengan biaya tambahan. Menurut Agus, pungutan liar tersebut menyebabkan biaya operasional logistik menjadi mahal, yang pada akhirnya merugikan para sopir dan perusahaan logistik.
Data yang dimiliki Agus menunjukkan bahwa pungutan liar mencapai angka Rp 100 juta hingga Rp 190 juta per truk setiap tahunnya. Jumlah ini sangat memberatkan, dan pemberantasannya diyakini akan mengurangi beban biaya sehingga sopir bisa menaati aturan zero ODOL.
“Biaya logistik mahal karena banyak pungutan liar. Ini harus kita cegah dengan tindakan yang tegas. Siapapun nanti harus kita tindak agar semakin murah biaya perjalanan. Kalau sudah tidak ada pungutan liar, artinya tidak ada alasan bagi siapapun membawa kendaraan overload,” tegas Agus.
Sementara itu, Ketua Umum Rumah Berdaya Pengemudi Indonesia, Ika Rostianti, mengungkapkan bahwa para sopir truk merasa pemerintah hanya memberikan peringatan tanpa solusi nyata. Ika menilai pemerintah bisa lebih proaktif dengan mengatur tarif, mengintervensi harga, atau memberikan subsidi agar sopir truk tidak harus membawa muatan melebihi batas.
Menurut Ika, tudingan bahwa truk ODOL membahayakan dan merugikan pengguna jalan memang benar adanya, sebab kecelakaan yang melibatkan truk bermuatan berlebih cukup tinggi. Namun, fenomena ini terjadi bukan tanpa alasan ekonomi.
“Sopir truk terpaksa membawa banyak muatan untuk menutupi ongkos kirim barang. Kalau dipaksa mengikuti aturan pemerintah, tidak cukup antara pendapatan dan muatan yang dibawa. Ujung-ujungnya sopir ini tidak membawa penghasilan untuk anak istri mereka di rumah,” jelas Ika.
Contohnya, truk pengangkut beras dari Banyuwangi menuju Lombok hanya mendapatkan bayaran Rp 500 ribu per ton. Bila mengikuti aturan pemerintah dengan muatan maksimal 4 ton, total pendapatan yang diperoleh hanya sekitar Rp 2 juta. Nominal tersebut dirasa tidak mencukupi untuk menutup biaya perjalanan dan pengeluaran lain selama melintasi rute tersebut.
Situasi ini menggambarkan kompleksitas persoalan sopir truk, yang tidak sekadar soal aturan keselamatan tetapi juga kondisi ekonomi dan kesejahteraan mereka. Dengan mendaftarkan diri ke BPJS Ketenagakerjaan, para sopir diharapkan mendapatkan perlindungan yang lebih baik, sekaligus pemerintah dapat melakukan pengawasan yang efektif agar standar pengupahan dan jam kerja dapat terpenuhi secara adil.
Program BPJS Ketenagakerjaan menjadi sebuah upaya penting untuk memberikan kesejahteraan dan perlindungan sosial bagi sopir truk, sekaligus sebagai instrumen pemerintah dalam mengatasi masalah ODOL secara komprehensif. Harapannya, dengan langkah ini, risiko kecelakaan akibat overloading dapat diminimalisir tanpa mengorbankan pendapatan sopir, sehingga tercipta kondisi yang aman, adil, dan berkelanjutan bagi seluruh pengemudi angkutan barang di Indonesia.