JAKARTA - Di tengah dinamika ekonomi dan kebijakan moneter yang ketat, strategi pembiayaan korporasi mengalami pergeseran signifikan. Jika sebelumnya pinjaman perbankan menjadi pilihan utama dalam memenuhi kebutuhan modal kerja, kini perusahaan-perusahaan mulai beralih ke pasar obligasi sebagai alternatif pendanaan yang lebih efisien. Perubahan ini terutama dipicu oleh masih tingginya tingkat bunga kredit perbankan yang membuat beban pendanaan semakin berat bagi pelaku usaha.
Fenomena ini terlihat dari data yang dirilis PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) yang mencatat bahwa selama semester pertama 2025, sebagian besar dana hasil penerbitan surat utang digunakan untuk keperluan modal kerja. Porsinya bahkan mencapai 56,26%, meningkat signifikan dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang hanya 38,61%.
Sementara itu, kredit perbankan untuk modal kerja menunjukkan tren perlambatan. Per Juni 2025, pertumbuhan kredit modal kerja tercatat hanya 4,45% secara tahunan (year-on-year/YoY). Padahal, pada akhir tahun lalu, pertumbuhannya masih cukup kuat di level 8,35% YoY. Ini menjadi sinyal bahwa perusahaan mulai menilai ulang efektivitas pinjaman dari bank sebagai sumber pembiayaan utama.
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menyampaikan bahwa dinamika ini merupakan cerminan dari pergeseran preferensi perusahaan. Mereka cenderung memilih pasar modal karena sejumlah alasan, termasuk tingginya bunga bank, terbatasnya likuiditas, serta strategi kredit yang lebih selektif dari perbankan.
“Suku bunga menjadi salah satu faktor penentu utama. Banyak perusahaan saat ini menilai bahwa penerbitan obligasi lebih menarik karena menawarkan tingkat bunga yang lebih kompetitif dibandingkan kredit bank,” ujar Josua.
Ia menambahkan bahwa menurut data Bank Indonesia, suku bunga kredit perbankan pada Juni 2025 masih tinggi di kisaran 9,16%. Angka ini tidak banyak berubah dari bulan sebelumnya yang berada di 9,18%. Sebaliknya, perusahaan-perusahaan yang memiliki peringkat kredit tinggi seperti AAA dan AA mampu menawarkan imbal hasil surat utang pada level 7% hingga 8% untuk tenor lima tahun.
“Dengan demikian, biaya pendanaan lewat obligasi lebih murah dibandingkan pinjaman bank, khususnya dalam jangka menengah hingga panjang,” lanjutnya.
Analis Pefindo, Danan Dito, turut mengonfirmasi kecenderungan korporasi yang kini lebih berminat pada instrumen pasar modal. Menurutnya, selain biaya bunga yang relatif lebih rendah, obligasi juga memberikan fleksibilitas tenor dan kejelasan struktur bunga.
“Meski prosesnya sedikit lebih kompleks, namun obligasi lebih menarik karena menawarkan stabilitas bunga dan tenor lebih panjang. Di sisi lain, bank biasanya memberi tenor pendek dan bunga yang bisa berubah-ubah,” jelas Dito.
Ia juga mencermati sikap hati-hati perbankan dalam menyalurkan kredit. Ketidakpastian kondisi makroekonomi membuat bank lebih konservatif, terutama dalam menilai kelayakan kredit dan memperhitungkan risiko gagal bayar.
“Perbankan saat ini lebih selektif dan tidak agresif dalam ekspansi kredit, terutama karena situasi ekonomi global yang masih fluktuatif,” ungkapnya.
Namun demikian, Dito menegaskan bahwa bukan berarti peran kredit bank akan benar-benar tergeser oleh pasar modal. Kredit perbankan masih memiliki tempat tersendiri, terlebih untuk kebutuhan yang lebih praktis atau dalam kondisi darurat.
“Pertumbuhan kredit mungkin tidak setinggi dulu, tapi tetap ada. Tahun ini diproyeksi tumbuh di kisaran 5% sampai 7%,” imbuh Dito.
Sementara itu, dari sisi pelaku perbankan, PT Bank Central Asia Tbk (BCA) menyampaikan bahwa kebutuhan pembiayaan dari perbankan tetap akan ada, tergantung pada strategi dan kebutuhan spesifik masing-masing perusahaan.
Hera F. Haryn, Executive Vice President Corporate Communication and Social Responsibility BCA, menyebutkan bahwa kondisi suku bunga yang rendah memang mendorong korporasi untuk lebih aktif di pasar obligasi. Namun demikian, pembiayaan melalui bank tetap memiliki daya tarik tersendiri.
“Kami mencermati bahwa korporasi tetap membutuhkan pembiayaan perbankan dari waktu ke waktu, tergantung kebutuhan mereka,” kata Hera.
BCA mencatat, hingga Maret 2025, kredit modal kerja yang disalurkan mencapai Rp421,5 triliun. Angka ini masih mencatatkan pertumbuhan sebesar 9,4% YoY. Hera menambahkan bahwa BCA akan terus mendukung pertumbuhan ekonomi melalui penyaluran kredit secara selektif dan bertanggung jawab.
“Dengan likuiditas yang cukup, kami optimistis tetap dapat berkontribusi terhadap pertumbuhan kredit di 2025, termasuk dalam sektor modal kerja. Tentunya dengan tetap menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko yang ketat,” pungkas Hera.
Kondisi ini mencerminkan dinamika baru dalam lanskap pembiayaan korporasi. Di satu sisi, obligasi menjadi pilihan yang semakin rasional di tengah tekanan suku bunga tinggi. Namun di sisi lain, kehadiran kredit perbankan tetap vital dalam ekosistem pembiayaan, terutama bagi korporasi yang membutuhkan fleksibilitas dan hubungan jangka panjang dengan lembaga keuangan. Ke depan, tantangan bagi industri perbankan adalah menyesuaikan diri dengan kebutuhan pasar dan tetap kompetitif di tengah munculnya alternatif pendanaan yang lebih efisien.