JAKARTA - Mengawali bulan Juli 2025, kekhawatiran terhadap kebakaran hutan dan lahan (karhutla) kembali mengemuka di Kalimantan Barat. Berdasarkan pantauan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) setempat, sebanyak 20 titik panas (hotspot) terdeteksi tersebar di berbagai wilayah Kalbar hanya dalam satu hari, tepatnya pada tanggal 1 Juli 2025.
Data ini dirilis BMKG Kalbar pada Rabu 02 JULI 2025 dan mencatat bahwa deteksi dilakukan sepanjang rentang waktu pukul 00.00 hingga 23.00 WIB. Kondisi ini menjadi alarm awal bagi pemerintah daerah dan masyarakat akan potensi meningkatnya kebakaran lahan yang kerap terjadi selama musim kemarau.
Fenomena ini bukan hal baru di Kalimantan Barat yang selama bertahun-tahun dikenal sebagai salah satu wilayah rawan karhutla di Indonesia. Oleh karena itu, deteksi dini seperti ini menjadi komponen penting dalam upaya mitigasi bencana lingkungan yang dampaknya bisa sangat luas, mulai dari kerusakan ekosistem hingga gangguan kesehatan akibat kabut asap.
Sebaran Titik Panas: 10 Kabupaten/Kota Terdampak
Dalam laporan resmi yang disampaikan BMKG Kalbar, disebutkan bahwa 20 titik panas tersebut tersebar di 10 kabupaten/kota. Artinya, hampir seluruh penjuru Kalbar mulai menunjukkan aktivitas panas permukaan yang patut diwaspadai.
Pihak BMKG menyebutkan bahwa pendeteksian dilakukan menggunakan sensor satelit Terra, Aqua, dan Suomi NPP yang mampu mengidentifikasi anomali panas di permukaan bumi. Hotspot yang terdeteksi biasanya diasosiasikan dengan aktivitas pembakaran lahan, baik disengaja maupun tidak, atau bisa juga karena cuaca panas ekstrem yang memicu munculnya bara api di kawasan kering.
“Monitoring hotspot ini dilakukan secara rutin untuk memberikan peringatan dini terhadap potensi karhutla,” demikian disampaikan oleh pihak BMKG Kalbar dalam keterangannya.
Sebaran titik panas yang meluas ke banyak wilayah administratif memperlihatkan bahwa ancaman kebakaran tidak bersifat lokal, melainkan tersebar dan sistemik. Beberapa kabupaten yang menjadi langganan titik panas pada tahun-tahun sebelumnya kini kembali masuk radar.
Signifikansi Deteksi Hotspot Terhadap Kebijakan Penanggulangan
Deteksi titik panas bukan hanya menjadi catatan teknis, namun juga berimplikasi besar terhadap pengambilan keputusan di lapangan. Pemerintah daerah, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), dan TNI/Polri biasanya menjadikan informasi ini sebagai dasar untuk mengaktifkan status siaga darurat kebakaran hutan.
Di Kalimantan Barat sendiri, titik panas kerap menjadi indikator awal untuk memperkirakan tren musim kemarau dan kekeringan ekstrem. Pemerintah provinsi bersama kabupaten/kota yang terdampak biasanya segera melakukan patroli darat, penyuluhan kepada warga, hingga penyebaran logistik air untuk mencegah api menjalar lebih luas.
Apalagi, bila titik panas terdeteksi berdekatan dengan kawasan pemukiman, kebun rakyat, atau area konservasi, maka tingkat risiko akan meningkat drastis.
Pengaruh Iklim dan Kondisi Musim Kemarau
Munculnya titik panas pada awal Juli selaras dengan pola musim kemarau yang biasanya dimulai sejak pertengahan Juni hingga September di wilayah Kalimantan. BMKG telah memberikan proyeksi bahwa musim kemarau tahun 2025 cenderung lebih kering dibandingkan tahun-tahun sebelumnya karena pengaruh fenomena El Nino yang masih tersisa.
Dengan kondisi vegetasi yang mengering dan minimnya curah hujan, lahan gambut dan hutan sekunder menjadi sangat rentan terhadap percikan api. Oleh karena itu, kombinasi antara faktor iklim dan aktivitas manusia yang membakar lahan—baik untuk membuka kebun maupun mempercepat pembusukan semak—bisa dengan cepat memicu karhutla.
Upaya Mitigasi yang Harus Ditingkatkan
Meningkatnya jumlah hotspot ini seharusnya menjadi panggilan serius bagi seluruh pihak, baik pemerintah, dunia usaha, maupun masyarakat sipil. Upaya pencegahan karhutla yang bersifat reaktif sudah saatnya ditingkatkan menjadi lebih proaktif dan sistematis.
Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat dalam beberapa tahun terakhir telah menggencarkan pembentukan Desa Peduli Api, pelatihan Masyarakat Peduli Api (MPA), dan penguatan armada pemadam kebakaran hutan. Namun tantangan di lapangan tetap besar, terutama jika pembukaan lahan secara manual dengan cara dibakar masih menjadi kebiasaan.
BMKG sendiri terus mendorong agar data dan informasi yang mereka sampaikan dapat segera ditindaklanjuti oleh pihak berwenang di daerah. Pemberian peringatan dini yang cepat dan akurat merupakan bagian dari strategi pengurangan risiko bencana.
“Kami berharap data titik panas ini digunakan secara maksimal oleh pemerintah daerah dan lembaga terkait untuk melakukan langkah antisipatif, bukan menunggu sampai api membesar,” tegas petugas BMKG dalam keterangannya.
Partisipasi Masyarakat Menjadi Kunci
Selain dari sisi pemerintah, masyarakat juga memegang peran kunci dalam pencegahan karhutla. Edukasi terhadap bahaya membakar lahan secara sembarangan, pentingnya menjaga kelestarian hutan, serta pelaporan dini bila muncul asap atau aktivitas mencurigakan, menjadi langkah penting yang bisa dilakukan oleh warga.
Masyarakat adat, petani, hingga pelaku usaha perkebunan perlu diajak dalam dialog yang terbuka mengenai dampak jangka panjang dari kebakaran hutan dan lahan. Selain merusak lingkungan, karhutla juga berdampak terhadap kesehatan, pendidikan (akibat sekolah ditutup karena kabut asap), hingga ekonomi masyarakat.
Dalam konteks ini, data hotspot dari BMKG dapat dijadikan alat bantu untuk memfokuskan intervensi ke wilayah paling rawan serta mengoptimalkan sumber daya yang ada.
Kesiapsiagaan Dini Menjadi Kunci Menghindari Bencana Lebih Besar
Deteksi 20 titik panas oleh BMKG Kalbar pada 1 Juli 2025 bukan sekadar angka statistik. Ini adalah sinyal dini bahwa musim kemarau di Kalimantan Barat telah membawa risiko kebakaran hutan dan lahan yang nyata.
Melalui koordinasi lintas sektor, pemanfaatan teknologi satelit, dan kesadaran bersama seluruh lapisan masyarakat, ancaman karhutla bisa dikelola lebih baik. Namun semua itu hanya akan efektif jika ada kemauan untuk bergerak cepat—sebelum api membesar dan sulit dikendalikan.
Karena mencegah lebih baik daripada memadamkan, maka sudah seharusnya deteksi dini seperti ini menjadi dasar dari gerakan kolektif untuk menjaga Kalbar tetap hijau, sehat, dan aman dari bencana asap.