JAKARTA - Di tengah dorongan global menuju netralitas karbon, industri otomotif Jepang menawarkan pendekatan berbeda yang menekankan diversifikasi solusi. Tidak hanya berfokus pada elektrifikasi, sejumlah produsen otomotif ternama seperti Toyota, Mazda, Nissan, dan Subaru, bersama perusahaan energi ENEOS, tengah mengembangkan bahan bakar alternatif rendah karbon yang diklaim lebih ramah lingkungan.
Langkah kolaboratif ini bertujuan untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil tanpa sepenuhnya meninggalkan mesin pembakaran internal. Pendekatan tersebut dinilai lebih realistis, terutama untuk negara-negara dengan tantangan infrastruktur elektrifikasi atau keterbatasan daya listrik.
Bahan bakar yang sedang dikembangkan ini merupakan campuran antara bensin konvensional dan bioetanol berbasis biomassa non-pangan. Tidak seperti biofuel konvensional yang biasanya dibuat dari jagung atau tebu komoditas pangan yang dapat memengaruhi ketahanan pangan dan harga pasar ENEOS memilih untuk menggunakan sumber daya alternatif seperti kayu, rumput, dan kertas daur ulang sebagai bahan dasar produksi etanol.
Pengembangan bahan bakar ini juga akan diuji coba di lapangan dalam ajang balap ketahanan Japanese Super Taikyu melalui tim ST-Q. Balapan ekstrem seperti ini menjadi laboratorium penting untuk menguji kinerja bahan bakar dalam kondisi maksimal sebelum diterapkan lebih luas, termasuk untuk kendaraan sehari-hari.
Menurut Yuichiro Yama, Chief Technology Officer ENEOS, pengembangan bahan bakar rendah karbon dari biomassa non-pangan bukan hanya solusi transisi, tetapi juga bagian dari komitmen jangka panjang untuk dekarbonisasi. Ia menegaskan bahwa dunia kini mulai membentuk konsensus mengenai pendekatan multi-lajur dalam mengatasi perubahan iklim.
“Saya percaya dunia secara bertahap membentuk konsensus meskipun kendaraan listrik dan kendaraan sel bahan bakar hidrogen itu penting, kendaraan hibrida dan kendaraan berbahan bakar juga dapat membantu mengurangi emisi,” jelas Yama.
Pernyataan tersebut menggarisbawahi peran penting mesin pembakaran internal yang telah mengalami evolusi besar-besaran. Melalui integrasi bahan bakar yang lebih bersih, teknologi konvensional ini tetap bisa berkontribusi terhadap pengurangan emisi karbon.
Senada dengan itu, Tetsuro Fujinuki, Chief Technology Officer Subaru, juga menekankan pentingnya pendekatan holistik dalam pelestarian lingkungan. Menurutnya, mobil bukan sekadar alat transportasi, tetapi produk yang memiliki nilai rekreasi dan emosional.
“Saya sering mengatakan bahwa mobil adalah produk yang menarik. Oleh karena itu, kita harus memanfaatkan berbagai keunggulan dalam upaya pelestarian lingkungan, seperti mengurangi emisi dan mencapai netralitas karbon. Bahan bakar netral karbon adalah salah satu sarana penting,” ujar Fujinuki.
Dengan kata lain, industri otomotif Jepang ingin mempertahankan keberagaman teknologi sebagai solusi terhadap kompleksitas masalah lingkungan. Ini mencakup kombinasi kendaraan listrik (EV), kendaraan hibrida, kendaraan berbahan bakar hidrogen, serta mesin konvensional yang menggunakan bahan bakar ramah lingkungan.
Pendekatan ini dinilai adaptif dan kontekstual, terutama bagi negara-negara yang belum sepenuhnya siap untuk elektrifikasi total. Dalam banyak kasus, kendaraan listrik masih menghadapi tantangan seperti harga yang tinggi, keterbatasan jarak tempuh, serta kurangnya infrastruktur pengisian daya.
Sebaliknya, bahan bakar rendah karbon berbasis bioetanol memberikan fleksibilitas dan bisa langsung digunakan pada mesin pembakaran yang telah dimodifikasi. Selain itu, proses produksi bioetanol dari biomassa non-pangan juga diyakini memiliki jejak karbon yang lebih rendah dan tidak menimbulkan konflik dengan ketahanan pangan.
Inovasi ini mencerminkan komitmen kolaboratif lintas sektor antara industri otomotif dan energi di Jepang dalam mengejar target emisi nol bersih (net zero emissions). Daripada menunggu solusi tunggal yang sempurna, mereka mendorong adopsi bertahap berbagai teknologi ramah lingkungan yang bisa diimplementasikan segera.
Dalam konteks global, banyak negara mulai menyadari bahwa strategi transisi energi perlu lebih realistis dan inklusif. Kendaraan listrik memang menjadi masa depan, tetapi jalur menuju ke sana tidak selalu linier. Bahan bakar alternatif seperti yang dikembangkan oleh ENEOS dan mitra otomotifnya, menawarkan jalan tengah yang bisa menjembatani kebutuhan saat ini dengan visi masa depan yang lebih bersih.
Jika pengujian di lintasan balap menunjukkan hasil positif, tidak menutup kemungkinan teknologi ini segera masuk ke jalur produksi massal. Dengan skala produksi yang lebih besar, biaya pengembangan akan menurun dan akses masyarakat terhadap bahan bakar rendah karbon akan semakin luas.
Kolaborasi ini juga menjadi cerminan bagaimana Jepang tetap mempertahankan posisinya sebagai pionir dalam inovasi otomotif global. Mereka tidak hanya mengejar tren, tetapi juga menciptakan solusi alternatif yang sesuai dengan karakteristik pasar dan kebutuhan konsumennya.
Bagi industri otomotif global, pendekatan Jepang ini dapat menjadi contoh bagaimana transisi menuju ekonomi hijau tak selalu harus “memutus total” dari teknologi lama. Sebaliknya, integrasi cerdas antara teknologi baru dan optimalisasi sistem lama bisa menjadi kunci keberhasilan.
Sebagai penutup, langkah kolaboratif antara produsen otomotif dan perusahaan energi Jepang ini menunjukkan bahwa netralitas karbon bisa dicapai melalui banyak jalur, dan setiap inovasi termasuk pengembangan bahan bakar berbasis biomassa non-pangan—memiliki peran penting dalam upaya besar tersebut.