JAKARTA - Lonjakan harga batu bara kokas di China belakangan ini menarik perhatian pasar global. Meski kenaikan lebih dari 15% telah terjadi dalam waktu singkat, para pelaku industri memperingatkan bahwa reli harga ini tidak akan bertahan lama tanpa dukungan kebijakan yang mampu menggerakkan sisi permintaan.
Kondisi ini dipicu oleh tindakan tegas dari pemerintah China yang tengah berupaya mengatasi kelebihan pasokan batu bara di dalam negeri. Badan Energi Nasional (National Energy Administration/NEA) memulai rangkaian inspeksi terhadap tambang-tambang batu bara di delapan provinsi dan wilayah utama. Dalam pernyataan resminya, NEA memperingatkan bahwa tambang yang memproduksi melampaui kapasitas izin akan ditutup.
Langkah ini menjadi bagian dari kampanye lebih luas untuk menekan overproduksi di sektor industri berat China. NEA menargetkan kawasan sentra produksi seperti Shanxi, Mongolia Dalam, dan Shaanxi sebagai wilayah prioritas dalam inspeksi ini. Tindakan pengawasan dan penegakan regulasi ini, yang mulai ramai diperbincangkan di media sosial China dan telah dikonfirmasi keasliannya, memicu gejolak harga di bursa komoditas.
Sejak berita ini merebak, harga batu bara kokas berjangka di Bursa Komoditas Dalian melonjak drastis. Namun, seiring waktu, pergerakan harga mulai stabil dan saham-saham perusahaan tambang yang sempat menguat mulai terkoreksi. Gejolak harga ini mendorong pihak bursa untuk mengeluarkan peringatan kepada investor agar tetap rasional dalam melakukan transaksi.
"Pasar batu bara kokas telah mengalami fluktuasi yang sangat tajam," tulis Bursa Komoditas Dalian dalam nasihat risiko pasar. Mereka meminta pelaku pasar untuk mewaspadai volatilitas dan tidak mengambil posisi berlebihan dalam jangka pendek.
Meski aksi pengetatan pasokan mampu mengerek harga dalam waktu singkat, pelaku industri menilai bahwa hal ini tidak cukup untuk menopang harga secara berkelanjutan. Han Lei, analis dari Asosiasi Transportasi dan Distribusi Batu Bara China, menyatakan bahwa kenaikan harga saat ini semata-mata merupakan respons pasar terhadap intervensi pemerintah.
"Dibutuhkan lebih dari sekadar upaya industri," ujarnya dalam sebuah siaran daring mingguan tentang kondisi pasar batu bara. Ia menekankan pentingnya kebijakan makroekonomi yang mampu mendongkrak permintaan, agar harga batu bara bisa bertahan pada level tinggi secara stabil.
Pernyataan Han mencerminkan kekhawatiran banyak pihak bahwa tanpa dukungan dari sisi permintaan, pasar batu bara—terutama batu bara kokas—akan kembali mengalami tekanan harga dalam waktu dekat. Terlebih, China masih berada dalam situasi perlambatan ekonomi, dan tekanan deflasi belum sepenuhnya teratasi.
Sebagai informasi, batu bara kokas merupakan bahan bakar utama dalam proses produksi baja. Sektor ini sangat sensitif terhadap fluktuasi ekonomi dan permintaan domestik. Ketika permintaan baja menurun, kebutuhan terhadap batu bara kokas ikut melemah, sehingga mempengaruhi harga komoditas tersebut secara keseluruhan.
Di sisi lain, pasar batu bara termal—yang digunakan untuk pembangkit listrik—tidak menunjukkan volatilitas setajam batu bara kokas. Harga batu bara termal spot di Pelabuhan Qinhuangdao, pusat logistik utama di China, tercatat sebesar 645 yuan (setara US$90) per ton. Meski naik 4% dalam sebulan terakhir, harga ini masih 25% lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Hal ini menunjukkan bahwa batu bara termal kemungkinan tidak akan terkena dampak besar dari kebijakan pengawasan pemerintah, mengingat perannya yang vital dalam menjamin ketahanan energi nasional. Pemerintah cenderung lebih hati-hati dalam mengatur sektor ini agar tidak mengganggu pasokan listrik di tengah musim panas dan konsumsi puncak.
Kebijakan pemerintah China untuk menekan kelebihan kapasitas produksi ini juga menjadi bagian dari strategi ekonomi yang lebih besar. Dalam beberapa waktu terakhir, otoritas negara tersebut gencar menyoroti masalah overproduksi di berbagai sektor—termasuk baja, semen, dan batu bara—karena dianggap menjadi faktor pendorong utama tekanan deflasi.
Melalui pengendalian produksi, Beijing berharap dapat memperbaiki struktur pasokan, menyeimbangkan pasar, serta mengurangi tekanan harga turun yang melemahkan daya saing sektor industri. Namun tanpa dukungan peningkatan permintaan domestik atau ekspor, upaya ini tetap menghadapi tantangan besar.
Sementara itu, Indonesia sebagai salah satu pemasok utama batu bara ke China juga turut terdampak oleh perkembangan ini. Anjloknya impor batu bara China hingga 26% turut memukul ekspor dari negara-negara penyuplai, termasuk Indonesia yang selama ini bergantung pada pasar Negeri Tirai Bambu.
Dalam konteks global, dinamika pasar batu bara China memiliki dampak signifikan terhadap harga dan permintaan secara keseluruhan. China merupakan konsumen dan importir batu bara terbesar di dunia, sehingga setiap perubahan kebijakan di negara tersebut langsung mempengaruhi perdagangan internasional.
Pasar saat ini berada dalam fase yang tidak pasti, di mana intervensi pemerintah bisa menjadi pemicu pergerakan harga jangka pendek, namun belum tentu menjamin kestabilan dalam jangka panjang. Para investor dan pelaku industri kini menanti langkah lanjutan dari pemerintah China, baik dalam bentuk stimulus ekonomi maupun kebijakan fiskal yang dapat memperkuat sisi permintaan.
Hingga saat ini, reli harga batu bara China memang masih terasa, tetapi tanpa dukungan fundamental dari permintaan industri, kenaikan tersebut kemungkinan besar hanya bersifat sementara.