JAKARTA - Pasar minyak global kembali bergejolak, dipicu oleh dinamika geopolitik yang memunculkan kekhawatiran terhadap terganggunya pasokan. Kenaikan harga minyak mentah dalam beberapa hari terakhir menjadi sinyal bahwa sentimen investor kini sangat rentan terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat, khususnya terkait hubungan dagang dengan negara-negara pembeli minyak Rusia.
Kebijakan yang dilontarkan Presiden AS Donald Trump menjadi pemicu utama kekhawatiran pasar. Dalam pernyataannya, Trump menyampaikan rencana untuk mengenakan tarif sekunder sebesar 100 persen terhadap negara-negara mitra dagang Rusia, termasuk mereka yang membeli minyak dari negara tersebut. Kebijakan itu disebut sebagai bagian dari upaya mendesak penyelesaian konflik Ukraina, dengan ultimatum agar Rusia menunjukkan kemajuan dalam waktu 10–12 hari.
Langkah Trump ini langsung memicu kekhawatiran pasar terhadap potensi gangguan pasokan global. Ketidakpastian itulah yang mendorong harga minyak mentah untuk terus menguat. Harga minyak mentah Brent untuk pengiriman September tercatat naik 27 sen atau 0,4 persen menjadi USD 73,51 per barel. Sementara minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) untuk periode yang sama naik 37 sen atau 0,5 persen menjadi USD 70,37 per barel.
- Baca Juga Update Harga BBM per 31 Juli 2025
Bahkan, kontrak Brent Oktober yang lebih aktif juga menunjukkan kenaikan, yakni sebesar 29 sen atau 0,4 persen, menjadi USD 72,76 per barel. Tren penguatan ini menandai hari keempat berturut-turut kenaikan harga minyak, yang menunjukkan betapa kuatnya pengaruh kebijakan geopolitik terhadap sentimen pasar komoditas energi.
Analis dari Fujitomi Securities, Toshitaka Tazawa, menjelaskan bahwa kekhawatiran terhadap pengetatan pasokan karena tarif sekunder menjadi alasan utama di balik meningkatnya minat beli. "Kekhawatiran bahwa tarif sekunder pada negara-negara pengimpor minyak mentah Rusia akan memperketat pasokan terus mendorong minat beli," kata Tazawa.
Ancaman tarif ini tidak hanya ditujukan kepada negara-negara pembeli minyak Rusia, tetapi juga merambah ke isu perdagangan dengan negara lain. Trump menyampaikan bahwa Amerika Serikat sedang melakukan negosiasi dengan India, menyusul rencana pemberlakuan tarif sebesar 25 persen terhadap barang-barang impor dari negara tersebut. Tarif itu dijadwalkan akan berlaku mulai Jumat, menambah ketegangan dalam hubungan perdagangan bilateral.
Selain India, China pun menjadi target perhatian dalam strategi tekanan dagang ini. Sebagai pembeli utama minyak mentah Rusia, China diperingatkan akan menghadapi tarif besar apabila tetap melanjutkan transaksi minyak dengan Moskow. Langkah ini dianggap sebagai bentuk peringatan keras dari Washington terhadap negara-negara yang dinilai melemahkan tekanan internasional terhadap Rusia.
Tak berhenti sampai di situ, AS juga melanjutkan kampanye tekanan terhadap Iran. Departemen Keuangan AS mengumumkan sanksi baru terhadap lebih dari 115 individu, entitas, dan kapal yang terkait dengan Iran. Kebijakan ini dianggap sebagai kelanjutan dari strategi "tekanan maksimum" setelah serangan terhadap situs nuklir utama Iran pada bulan sebelumnya. Sebagai informasi, China juga merupakan pembeli utama minyak mentah Iran, sehingga sanksi tersebut turut menyasar kepentingan dagang Negeri Tirai Bambu.
Sementara itu, dari sisi data domestik, Amerika Serikat justru mencatat lonjakan persediaan minyak mentah secara signifikan. Berdasarkan laporan Badan Informasi Energi (EIA), stok minyak mentah AS naik 7,7 juta barel dalam satu pekan, menjadi 426,7 juta barel. Kenaikan ini sebagian besar disebabkan oleh penurunan volume ekspor. Padahal, para analis sebelumnya memperkirakan bahwa stok minyak mentah akan menurun sebanyak 1,3 juta barel.
Namun demikian, lonjakan cadangan minyak mentah tersebut tidak serta-merta menekan harga secara keseluruhan. Hal ini karena terdapat data penarikan bensin yang menunjukkan penurunan jauh lebih besar dari perkiraan. Stok bensin AS berkurang 2,7 juta barel menjadi 228,4 juta barel, jauh melampaui ekspektasi penarikan sebesar 600.000 barel.
Menurut Tazawa, situasi ini menciptakan keseimbangan dalam persepsi pasar. "Data inventaris AS menunjukkan peningkatan stok minyak mentah yang lebih besar dari perkiraan, tetapi penarikan bensin yang lebih besar dari perkiraan mendukung pandangan permintaan musim berkendara yang kuat, sehingga menghasilkan dampak netral pada pasar minyak," ujarnya.
Kondisi ini menggambarkan kompleksitas pasar minyak global, di mana fluktuasi harga tidak semata-mata dipengaruhi oleh data produksi dan konsumsi, tetapi juga sangat bergantung pada isu geopolitik dan strategi dagang global. Ancaman tarif, embargo, dan sanksi ekonomi telah menjadi senjata yang efektif dalam memengaruhi pasokan serta sentimen pelaku pasar.
Kenaikan harga minyak mentah ini juga menjadi perhatian bagi negara-negara pengimpor, termasuk negara berkembang yang sangat bergantung pada pasokan energi global. Kenaikan harga minyak akan memicu inflasi domestik, meningkatkan biaya produksi, dan dapat berdampak langsung pada pertumbuhan ekonomi nasional.
Di sisi lain, produsen minyak dapat memanfaatkan momentum ini untuk meningkatkan pendapatan ekspor, namun tetap harus berhati-hati terhadap potensi ketidakstabilan pasar yang bisa berubah sewaktu-waktu.
Dengan banyaknya variabel yang memengaruhi pasar energi saat ini, dari kebijakan tarif hingga data inventaris domestik, pelaku pasar dituntut untuk terus mencermati perkembangan secara menyeluruh. Ketidakpastian tinggi menjadi tantangan utama dalam menjaga keseimbangan harga dan pasokan, khususnya di tengah ketegangan geopolitik yang belum menunjukkan tanda mereda.