JAKARTA - Kinerja sektor industri Jepang kembali menunjukkan tanda perlambatan. Data terbaru dari Kementerian Perindustrian Jepang yang dirilis pada Senin 30 JUNI 2025 mencatat bahwa produksi industri Negeri Sakura pada Mei hanya mengalami peningkatan sebesar 0,5 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Capaian ini jauh dari proyeksi para analis yang sebelumnya memperkirakan kenaikan mencapai 3,5 persen.
Lebih mencemaskan lagi, secara tahunan, produksi industri Jepang justru mencatat kontraksi, dengan penurunan sebesar 1,8 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Angka ini meleset dari ekspektasi pasar yang memprediksi kenaikan tahunan sebesar 1,6 persen.
Kondisi ini menunjukkan tekanan serius yang tengah dihadapi sektor manufaktur Jepang, yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi nasional. Penyebab utama perlambatan tersebut diyakini berasal dari tekanan tarif baru yang diberlakukan Amerika Serikat terhadap sejumlah produk ekspor Jepang.
Tarif AS Picu Penurunan Kinerja Ekspor
Sejumlah analis mengaitkan perlambatan ini dengan kebijakan tarif baru dari pemerintahan Amerika Serikat yang diberlakukan terhadap produk otomotif dan elektronik Jepang sejak awal kuartal kedua tahun ini. Langkah proteksionis dari Washington ini bertujuan untuk menekan defisit neraca dagang AS, namun berdampak langsung terhadap mitra dagang utamanya, termasuk Jepang.
Kementerian Perindustrian Jepang menyatakan bahwa “produksi pabrik mengalami tekanan akibat lemahnya permintaan dari pasar ekspor utama, terutama dari Amerika Serikat yang merupakan salah satu tujuan utama ekspor sektor otomotif dan elektronik Jepang.”
Ekspor otomotif, mesin industri, serta peralatan elektronik yang selama ini menjadi andalan Jepang dalam perdagangan global, mencatat penurunan signifikan akibat meningkatnya beban tarif. Hal ini membuat banyak produsen mengurangi volume produksi guna menyesuaikan permintaan yang menurun tajam.
Sektor Manufaktur Hadapi Tekanan Bertubi
Industri manufaktur Jepang menghadapi tantangan ganda. Di satu sisi, kenaikan tarif impor oleh Amerika Serikat menekan daya saing produk Jepang di pasar internasional. Di sisi lain, biaya produksi domestik yang relatif tinggi serta ketergantungan pada bahan baku impor membuat sektor ini sulit melakukan efisiensi secara cepat.
“Para pelaku industri harus menghadapi realitas baru dengan menyesuaikan produksi mereka terhadap permintaan global yang semakin tidak pasti,” ungkap seorang pejabat senior dari Kementerian Perindustrian.
Beberapa sektor yang mencatat kontraksi terbesar di antaranya adalah otomotif, mesin berat, dan peralatan rumah tangga elektronik. Sebagian pabrik bahkan dilaporkan mulai mengurangi jam kerja dan jumlah karyawan sementara, sebagai langkah antisipatif untuk menjaga stabilitas keuangan perusahaan.
Perbandingan Produksi Bulanan dan Tahunan
Jika dilihat dari data yang dirilis, kenaikan produksi 0,5 persen pada bulan Mei sebenarnya mencerminkan sedikit perbaikan dari kinerja bulan sebelumnya yang mencatat pertumbuhan negatif. Namun, dibandingkan dengan perkiraan analis yang cukup optimistis sebesar 3,5 persen, hasil tersebut jelas menunjukkan adanya deviasi yang cukup besar.
Sementara itu, kontraksi sebesar 1,8 persen secara tahunan menjadi perhatian tersendiri bagi pemerintah dan pelaku industri. Sebab, dalam beberapa bulan sebelumnya, sektor industri Jepang masih menunjukkan pertumbuhan moderat meskipun dibayangi ketidakpastian global.
Data produksi industri menjadi salah satu indikator utama dalam menilai kekuatan ekonomi Jepang secara keseluruhan. Angka negatif dalam skala tahunan menandakan bahwa penurunan ini bukan hanya bersifat temporer, melainkan mulai memasuki fase perlambatan yang lebih struktural.
Respon Pemerintah Jepang
Pemerintah Jepang merespon kondisi ini dengan menegaskan bahwa mereka akan mengambil langkah-langkah strategis untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional. Salah satu opsi yang tengah dikaji adalah memberikan stimulus tambahan bagi industri terdampak, serta mempercepat diversifikasi pasar ekspor Jepang ke kawasan Asia dan Eropa.
“Kami akan meninjau kebijakan dukungan terhadap sektor manufaktur dan memperkuat kerja sama dagang dengan mitra non-tradisional untuk mengurangi ketergantungan terhadap pasar AS,” ujar seorang pejabat dari Kementerian Keuangan Jepang.
Selain itu, otoritas fiskal dan moneter juga berupaya menciptakan kebijakan sinergis guna menjaga iklim investasi dan menjaga daya beli masyarakat, agar sektor domestik dapat menyerap kelebihan pasokan produksi yang tidak terserap oleh pasar ekspor.
Reaksi Pasar dan Dunia Usaha
Reaksi pasar terhadap data produksi industri yang meleset dari ekspektasi terlihat dalam penurunan indeks saham manufaktur di bursa Tokyo. Saham perusahaan-perusahaan besar seperti Toyota, Sony, dan Mitsubishi Electric mengalami tekanan sepanjang perdagangan hari Senin.
Para pelaku usaha meminta kepastian dari pemerintah terkait arah kebijakan industri dan perdagangan, terutama dalam menghadapi ketegangan dagang yang masih berlangsung dengan Amerika Serikat.
Seorang pengusaha sektor otomotif menyatakan, “Kami butuh kepastian jangka panjang dari pemerintah terkait strategi menghadapi perang dagang ini. Jika tidak, investasi dan ekspansi bisnis akan tertahan lebih lama.”
Tantangan Global Masih Membayangi
Perlambatan produksi industri Jepang juga tidak dapat dilepaskan dari kondisi ekonomi global yang penuh ketidakpastian. Gejolak geopolitik, fluktuasi harga energi, dan gangguan rantai pasok global pasca-pandemi masih menjadi faktor penghambat utama bagi pemulihan industri secara menyeluruh.
Dalam situasi ini, Jepang dihadapkan pada dilema antara mempertahankan pangsa pasar global melalui penyesuaian tarif dan strategi ekspor, atau memperkuat pasar domestik sebagai penyangga ekonomi nasional.
Dengan produksi industri yang tumbuh jauh di bawah ekspektasi pada Mei 2025, Jepang menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan pertumbuhan ekonominya di tengah tekanan global. Ketegangan dagang dengan Amerika Serikat terbukti memiliki dampak signifikan terhadap ekspor, terutama sektor manufaktur yang selama ini menjadi andalan. Pemerintah Jepang dituntut untuk segera menyusun strategi baru, baik dalam kebijakan fiskal, perdagangan luar negeri, maupun penguatan sektor dalam negeri agar mampu menjaga daya tahan ekonomi menghadapi ketidakpastian global yang belum mereda.